ICJR : Hampir Dua tahun pasca revisi UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Revisi PP Kompensasi, Restitusi dan bantuan Korban masih belum tuntas, sedangkan Revisi Peraturan Menkeu soal pembayaran ganti rugi berdasarkan PP 95 Tahun 2015 akan jatuh tempo pada Juni 2016
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan kepada Pemerintah, dalam Hal ini Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Keuangan Negara. Karena dua institusi ini masih berhutang untuk mengeluarkan peraturan terkait hak-hak korban. Kementerian Hukum dan HAM berhutang satu revisi atas PP 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi Restitusi dan Rehabilitasi Korban. Revisi PP ini dianggap terlambat, karena UU yang memandatkannya yakni UU No 31 Tahun 2014 terkait revisi UU perlindungan saksi dan korban telah terbit hampir 1,5 tahun lalu. Sedangkan Kementerian Keuangan Negara memiliki kewajiban menuntaskan revisi Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian berdasarkan mandat dari Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang akan jatuh tempo pada 8 Juni 2016
Revisi PP 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi Restitusi dan Rehabilitasi Korban
Revisi PP 44 sangat penting untuk direvisi karena terjadinya perubahan dalam UU mengenai perlindungan saksi dan korban. Perubahan ini paling tidak mencakup 3 hal yang substansi. pertama, soal mekanisme kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat dan korban terorisme. Kedua, mekanisme restitusi bagi korban tindak pidana. Dan ketiga adalah revisi atas mekanisme bantuan medis, psikologis dan psikososial bagi Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat.
Perlu diketahui dengan adanya UU 31 tahun 2014 maka bantuan medis, psikologis dan psikososial bisa di akses lebih luas oleh korban tindak pidana lainnya, berbeda dengan UU No 31 Tahun 2006 yang hanya memberikan bantuan terbatas bagi korban pelanggaran HAM berat.
Namun karena mandeknya revisi atas PP 44 maka mau tidak mau akan mengganggu proses layanan bantuan bagi korban yang menjadi tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan korban. Dan secara lebih luas akan membatasi akses korban tindak pidana di Indonesia. Padahal banyak korban sangat membutuhkan layanan tersebut.
ICJR mendorong agar Kementerian Hukum dan Ham mempercepat proses revisi dan membuka seluas-luasnya masukan dari publik untuk memperkuat hak-hak korban yang telah atur dalam UU tersebut.
Keputusan Menteri Keuangan soal Revisi Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang merevisi PP No. 27 Tahun 1983 dengan menaikkan besaran ganti rugi bagi korban salah tangkap atau peradilan sesat telah dibentuk sejak 4 bulan yang lalu. Namun aturan ini masih belum efektif karena harus menunggu penyesuaian dengan peraturan lainnya yang merupakan pelaksana dari Peraturan Pemerintah ini.
Dalam Pasal 39C PP No. 92 Tahun 2015, dikatakan bahwa :
“Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini diundangkan.”
Berdasarkan pasal tersebut, maka merujuk pada tanggal penetapan dan pengundangan PP ini yaitu pada 8 Desember 2015, maka seluruh penyesuian ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus dilakukan selambat-lambatnya pada 8 Juni 2016
Ada satu peraturan yang perlu direvisi terkait dengan PP tersebut, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian (KMK No. 983). KMK No. 983 ini telah lama menjadi mimpi buruk pencari keadilan karena mekanismenya berbelit dan memiliki jangka waktu yang tidak pasti.
Setidaknya PP No. 92 Tahun 2015, telah mengatur jangka waktu pembayaran ganti kerugian yaitu selambat-lambatnya dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh Menteri. Jangka waktu 14 hari tersebut harus di tuangkan dalam revisi peraturan di Kementran keuangan agar pemberian ganti rugi bisa lebih efektif dan efisian.
Untuk itu, ICJR mendorong agar Menteri Keuangan segera melakukan penyesuaian dan mengeluarkan aturan baru menggantikan KMK No. 983 ini yang jatuh tempo sampai dengan Juni 2016. Terkait hal ini, ICJR juga telah mengirimkan surat kepada Menteri keuangan pada tanggal 3 Mei 2016 agar segera bekerja merevisi peraturan itu.