RF, terduga pelaku pencurian di Ketapang, Kalimantan Barat, diantar pulang oleh petugas kepolisian ke rumah orangtuanya dalam keadaan meninggal dunia pada 25 Januari 2024. Sehari sebelumnya, RF dibawa oleh petugas kepolisian pukul 23.00 WIB tanpa sepengetahuan orangtua maupun kerabatnya. Paman RF menduga pihak kepolisian menganiaya RF untuk mengejar pengakuan bersalahnya atas kasus pencurian. Kecurigaan itu timbul saat keluarga melihat jenazah RF banyak bekas luka lebam dan luka baru mirip tembakan peluru pistol, kening kanan atas terdapat luka menganga disertai lebam, lengan kiri terdapat luka lebam membiru.
Dalam keterangan tertulis pada 26 Januari 2024, Kepala Polisi Resor Ketapang AKBP Tommy Ferdian mengatakan RF mengalami sesak napas selang beberapa jam dilakukan pemeriksaan, lalu dibawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan di Ruang IGD Rumah Sakit Umum Daerah Agoes Djam Ketapang, sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Pihak keluarga tidak percaya dengan keterangan polisi karena RF tidak punya riwayat sakit asma atau sesak napas. Meskipun dinyatakan sesak napas, AKBP Tommy Ferdian telah menonaktifkan anggota polisi yang terlibat dalam pemeriksaan RF atas perintah Kepala Polisi Daerah Kalimantan Barat Irjen Pol Pipit Rismanto.
Penyiksaan demi mengejar pengakuan bersalah hingga meninggal dunia ini mengingatkan kita pada peristiwa serupa yang dialami OK, warga Banyumas yang juga dituduh melakukan pencurian. Pertengahan Juli 2023 lalu, OK dipulangkan ke keluarganya dalam keadaan meninggal dunia. Desember 2023, Majelis Hakim menghukum keempat pelaku penyiksaan dari unsur kepolisian dengan tujuh dan delapan tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum. Majelis Hakim menambahkan pemberatan hukuman sesuai Pasal 52 KUHP karena pelaku merupakan anggota kepolisian yang telah menyalahgunakan kekuasaannya.
Sepanjang tahun 2023, Komnas HAM mencatat Polri sebagai pihak yang paling banyak diadukan, lebih tinggi dibandingkan korporasi dan pemerintah. Laporan terhadap Polri pun tidak melulu soal penggunaan kekerasan berlebihan, namun juga tentang profesionalisme Korps Bhayangkara dalam penyelidikan dan penyidikan perkara. Sementara itu, KontraS menemukan setidaknya 54 kasus penyiksaan sepanjang Juni 2022 – Mei 2023, 34 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota kepolisian. Namun, dari 34 kasus tersebut, 19 kasus tidak ada proses penindakan terhadap pelaku Polisi.
ICJR memandang praktik penyiksaan pada proses penangkapan dan penahanan memang mustahil dihilangkan jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan. Hal ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini yang terletak pada kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa diimbangi mekanisme pengawasan yang ketat.
Selama ini penangkapan dan penahanan dilakukan oleh aparat kepolisian dengan begitu mudah, murni penilaian dari polisi. KUHAP ke depan harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mewajibkan aparat kepolisian untuk menghadapkan tersangka kepada hakim setelah ditangkap untuk dilakukan penilaian oleh hakim mengenai perlu tidaknya dilakukan penahanan termasuk kondisi tersangka, sehingga kejadian praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan dapat diminimalisir.
Oleh karena itu, ICJR mendesak:
- Kepolisian RI buka data dan pertanggungjawaban mengenai anggotanya yang melakukan penyiksaan dan apa konsekuensi yang diberikan
- Kepolisian RI harus dipertanyakan soal komitmennya untuk mendukung Judicial Scrutiny
- Dalam tataran legislatif, Revisi KUHAP dan Ratifikasi OPCAT
Jakarta, 1 Februari 2024