Salah satu isu utama dalam hukum acara pidana saat ini adalah penggunaan penahanan prapersidangan yang berlebihan, yang berdampak langsung pada alternatif hukuman selain penjara, terutama terkait dengan tindak pidana narkotika. Pada tahun 2023, penahanan prapersidangan mencapai 22% dari seluruh populasi tahanan, dan belum termasuk yang berada di kantor polisi. Penahanan prapersidangan sering kali menjadi faktor penentu hukuman akhir dan intervensi terhadap pelaku tindak pidana narkoba. Jika tersangka ditahan, hukuman akhirnya cenderung dengan hukuman penjara daripada alternatif lainnya. Oleh karena itu, intervensi terhadap proses penahanan prapersidangan menjadi sangat penting.
Proses pengambilan keputusan mengenai penahanan prapersidangan di Indonesia masih didominasi oleh penilaian subjektif aparat penegak hukum, khususnya polisi. Praktik yang kurang akuntabel ini menimbulkan berbagai masalah dalam sistem peradilan pidana, seperti kepadatan rumah tahanan dan peluang korupsi di kalangan aparat.
Untuk itu, melalui penelitian ini, ICJR merekomendasikan pendekatan yang lebih akuntabel dan akurat yang dapat diandalkan dalam proses pengambilan keputusan penahanan prapersidangan. Pendekatan ini mendorong pengambil keputusan untuk menetapkan penahanan prapersidangan berdasarkan penilaian risiko yang relevan, seperti catatan kriminal, situasi keuangan, dan status pekerjaan tersangka. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, tersangka dapat dikategorikan dalam tingkat risiko tertentu, sehingga keputusan penahanan dapat lebih objektif dan terukur. Dengan adanya pedoman yang jelas, penahanan prapersidangan dapat berkurang dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum dalam penahanan dapat dihindari.
Penelitian ini dapat Anda akses di sini
