Tes Keperawanan Sebagai Syarat Calon Prajurit Perempuan, Adalah Praktek Diskriminatif, Menyakitkan dan Merendahkan Martabat Perempuan
Wacana tes keperawanan sebagai persyaratan wajib bagi perempuan calon Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mengemuka. Working Group on Against Torture (WGAT) menilai tes keperawanan bagi perempuan calon prajurit TNI merupakan fakta kemunduran substantif dalam upaya penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Kapuspen TNI, tes keperawanan, yang merupakan bagian dari tes kesehatan, dilakukan untuk melihat kelayakan kesehatan mental dan moralitas calon tentara perempuan. Tes keperawanan, yang sudah dilakukan sejak lama, ini bahkan juga diberlakukan bagi calon istri atau tunangan prajurit TNI.
WGAT menilai tes keperawanan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kinerja seorang tentara untuk menjaga negara dari ancaman bersenjata serta memastikan stabilitas dan kedaulatan negara. Beberapa pengalaman yang terungkap, tes keperawanan dapat menimbulkan rasa sakit, malu dan trauma untuk seseorang karena menyangkut wilayah pribadi perempuan.
Untuk itu, WGAT juga menilai tes keperawanan merupakan bentuk penyingkapan (ekpose) yang disengaja untuk memunculkan rasa sakit secara psikis atau fisik serta penderitaan yang signifikan dan merupakan bentuk subordinasi terhadap perempuan serta merendahkan martabat perempuan. Pemberlakuan tes keperawanan sebagai syarat wajib bagi perempuan calon prajurit TNI bertentangan dengan komitmen negara, yang telah mengakui dan meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1998.
Kami menyimpulkan pemberlakuan tes keperawanan kepada calon tentara perempuan juga merupakan praktek kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang dilegitimasi oleh negara lewat institusi TNI. Tes keperawanan yang dijadikan syarat bagi calon tentara perempuan jelas menunjukkan masih kuatnya budaya patriarkhi dalam lembaga-lembaga negara. Merujuk pada pasal 28 B ayat 2, pasal 28 G ayat 2 UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia berkewajiban memastikan setiap warganya tidak mengalami perlakuan yang merendahkan martabat dan memiliki persamaan hak untuk berperan aktif mendorong kesetaraan dalam hal penikmatan hak asasi, dalam hal partisipasi dan mengakses hak ekonomi, politik, sosial, budaya dan berbagai aspek kehidupan yang sama baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi.
Alasan standar kepatutan mental dan moral yang mendasari pemberlakuan tes keperawanan yang dikemukakan oleh institusi TNI cenderung dikaitkan dengan nilai agama dan budaya ketimuran. Dalam hal ini penting bagi pembuat kebijakan di sektor keamanan untuk melakukan studi yang didasarkan pada perkembangan situasi, tantangan keamanan dan stabilitas yang dihadapi negara saat ini. Dari hal itu, harapannya dapat ditemukan pertimbangan yang logis untuk menakar kapasitas intelektual, mental dan moral calon prajurit yang jauh lebih efektif daripada tes keperawanan. Dengan tetap memberlakukan tes keperawanan sebagai persyaratan hanya akan menunjukkan stagnansi Indonesia dalam usaha pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) bahkan pada November 2014 telah menyerukan dunia harus mengakhiri praktek tes keperawanan dalam semua kasus dan melarang petugas kesehatan maupun institusi lainnya mengabadikan praktek diskriminatif dan merendahkan ini.
Berangkat dari persoalan di atas, WGAT sekali lagi menegaskan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar secara serius menghapus praktek tes keperawanan sebagai syarat bagi tentara perempuan, dan tujuan-tujuan lainnya. Tes keperawanan tidak menjawab tujuan penting dari tugas, peran dan fungsi TNI, tetapi justru menguatkan bahwa negara masih belum dapat mengemban tugasnya untuk melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia dan mencegah warga negara dari tindakan diskriminasi. Dengan menghentikan praktek tes keperawanan akan menjadi langkah baik untuk merawat dan meningkatkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
WGAT, Working Group on the Advocacy against Torture: ELSAM [Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat], ICJR [Institute For Criminal & Justice Reform], HRWG [Human Rights Working Group], PBHI [Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia], YPHA [Yayasan Perlindungan Hak Anak], KPI [Koalisi Perempuan Indonesia], LBH Jakarta dan Elpagar Kalbar.
Artikel Terkait
- 13/06/2014 Legislasi Indonesia Masih Pro Penyiksaan
- 26/06/2020 [Rilis Memperingati Hari Anti Penyiksaan] Penyiksaan Masih Subur: Mulai dari Proses Peradilan Pidana sampai Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati
- 18/04/2017 Legislative Framework on Torture in Indonesia
- 05/10/2016 Joint Stakeholders Report on Issues Relating to the Revision of Penal Code and Situation of Torture in Indonesia
- 30/06/2016 Torture remains a part of Criminal Law Enforcement in Indonesia
Related Articles
Bukan Sekedar Langgar Etik, Seret Pelaku Tragedi Kanjuruhan ke Pengadilan!
ICJR turut berduka sedalam-dalamnya dan bersimpati kepada keluarga atas meninggalnya korban-korban di dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Koalisi 18+ Mendorong Pemerintah Indonesia Untuk Menjadi Negara Pendukung Resolusi PBB Mengenai Perkawinan Anak Dalam Situasi Krisis Kemanusiaan
Hari ini tanggal 5 Juli 2017, Koalisi 18+ secara resmi mengirimkan surat himbauan kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi Sidang
ICJR Nilai Pemerintah Gagal dan Lalai Bentuk Peraturan Pelaksana UU SPPA
Tepat 30 Juli 2014 lalu, UU SPPA telah resmi berlaku. Hal yang paling menarik untuk disoroti adalah berdasarkan ketentuan dalam