Fair Trial Pengadilan Terpidana Mati Harus Jadi Perhatian Serius

Usai sebut semua putusan sudah sesuai dengan prinsip fair trial, negara seakan tertampar dengan fakta kasus Yusman Telambanua dan Rasulah Hia.

Pada “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa menyatakan bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip fair trial. Argumen yang dinyatakan oleh RTRI di Jenewa tersebut ditujukan untuk menjawab desakan dan kritikan dari dunia internasional terhadap sikap Indonesia yang kukuh melanjutkan serangkaian eksekusi mati terhadap terpidana mati di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 jo. Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), di negara yang masih menerapkan hukuman mati, maka jaminan atas prinsip fair trial menjadi mutlak diberlakukan. Semua hak yang melekat pada terdakwa dalam proses peradilannya harus diberikan dan dijamin tanpa ada celah sedikitpun.  Fair trial menjadi alat uji yang harus dilekatkan pada praktik peradilan dimana seseorang dituntut dengan hukuman mati. Persoalan penerapan fair trial terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Laporan Amnesty International, Indonesia masuk ke dalam beberapa negara yang masih belum menerapkan prinsip fair trial untuk menjamin hak-hak terpidana mati serta ketentuan internasional lainnya.

Tak lama setelah PTRI mengumumkan bahwa fair trial terhadap seluruh terpidana mati telah dilakukan, negara ini seakan tertampar dengan temuan atas putusan pidana yang dijatuhkan pada anak atas nama Yusman Telambanua. Tidak hanya atas dasar dirinya seorang anak, kejanggalan kasus Yusman dan kakak iparnya Rasulah Hia yang juga terpidana mati, menyeruak ke publik. Yusman dan Rasulah Hia terindikasi disiksa oleh oknum penyidik dan kasusnya diduga direkayasa, Yusman dan Rasulah Hia juga tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Penasihat Hukum kedunya malah meminta agar Pengadilan menjatuhkan pidana mati terhadap mereka.

Kasus Yusman dan Rasulah Hia bisa jadi hanya awal dari masalah fair trial lainnya yang belum terungkap di Indonesia. Standar penjatuhan pidana mati yang telah diatur secara internasional berdasarkan standar HAM kini jadi tantangan serius bagi Indonesia. Atas dasar tersebut, ICJR berinisatif untuk melakukan kajian terhadap beberapa putusan hukuman mati guna melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Penelitian ini menjadikan putusan pengadilan menjadi dasar analisis. Putusan yang akan dikaji merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pembacaan dilakukan terhadap 42 (Empat puluh dua) putusan  yang  dijadikan bahan analisis pada penelitian ini. Berdasarkan putusan tersebut setidaknya diasumsikan dapat memberikan gambaran umum mengenai potret situasi fair trial bagi terpidana mati dalam putusan pengadilan.

ICJR pun menemukan beberapa kesimpulan, yaitu :

  1. Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia tidak membedakan standar proses peradilan bagi orang – orang yang diancam pidana mati. Hampir semua ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya.
  2. Masih ditemukannya permasalahan penerapan prinsip fair trial dalam peradilan pidana di Indonesia, khusus bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati. Hal tersebut dapat terlihat dari masih banyaknya persolan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan pidana mati, persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang, seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.
  3. Problem administratif dan masih diutamakannya kepentingan formil dari pada mencari kebenaran materil sangat kental dengan dikeluarkannya beberapa aturan oleh Mahkamah Agung. Dikeluarkannya SEMA 1/2012, SEMA 7/2014 dan aturan lainnya yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan menjadi persoalan serius yang masih perlu untuk dibenahi.Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang diajukan oleh ICJR berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini adalah :

  1. Mendesak pemerintah untuk melakukan review ulang pada semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati, harus dipastikan bahwa semua putusan sudah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan pidana mati.
  2. Mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standar fair trial. Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati.
  3. Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014 yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan. Peninjauan Kembali (PK) seharusnya diatur lebih komprehensif dalam KUHAP atau UU khusus mengenai Peninjauan Kembali sehingga tidak menimbulkan pembatasan terhadap hak terpidana mati seperti pengaturan saat ini.

Unduh bahan Media Briefing Disini



Related Articles

Perppu No 1 Tahun 2016 (Sengaja) Melupakan Korban: 9 Catatan Kritis ICJR terhadap Perppu No 1 Tahun 2016

Pada Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyatakan Kejahatan Seksual Terhadap Anaksebagai kejahatan luar biasa. Presiden

Kasus Pelarian Napi: Buah Kelebihan Beban Lapas

Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform, sampai dengan 20 Juni 2017 terdapat tidak kurang dari 26 kasus melarikan diri

ICJR Criticizes District Court of Bandung Decision on Wisni’s Case and District Court of Yogyakarta Decision on Florence’s case

Both decisions has undermined the criminal law principles and constitutes a violation of freedom of expression protected by the Indonesian

Verified by MonsterInsights