Pemerintah DKI Jakarta kembali menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai Senin, 14 September 2020 hingga 25 September 2020 melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 959 Tahun 2020. PSBB ini dilakukan kali kedua, setelah sebelumnya DKI Jakarta sudah pernah memberlakukan status yang sama pada 10 April sampai dengan 4 Juni, kemudian beralih pada masa transisi dari 5 Juni hingga 13 September 2020.
Dalam pengumuman yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta 13 September 2020, disampaikan adanya sejumlah tindakan penegakan hukum yang akan diterapkan bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan PSBB. Penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019. Dalam Peraturan Gubernur ini, terdapat beberapa perbuatan yang diancam dengan sanksi administrasi seperti tidak menggunakan masker (Pasal 5 ayat (1)) dan tidak melaksanakan perlindungan masyarakat di lingkungan kerja, tempat usaha, industri, perhotelan/penginapan lain sejenis, dan tempat wisata (Pasal 8 ayat (6)).
Apabila dicermati, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 yang memuat sanksi administrasi bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan ini, sudah diberlakukan sejak 19 Agustus 2020. Pergub 79 Tahun 2020 disusun berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Perda tentang Penerapan dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan. Dalam kedua instruksi tersebut, Kepala Daerah diinstruksikan untuk membuat Peraturan Kepala Daerah yang memuat sanksi pelanggaran kewajiban yang dimuat dalam protokol kesehatan. Selain memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri dalam Negeri tersebut juga mengerahkan kekuatan TNI dan Polri untuk memberikan dukungan Gubernur/Bupati/Walikota dalam melakukan pengawasan pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat. Hal ini pun selanjutnya juga dimuat dalam Pergub DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dengan melibatkan dampingan TNI/Polri dalam melakukan pengenaan sanksi bagi pelanggar.
ICJR menyoroti carut marutnya pengaturan dan pengerahan kewenangan dalam penegakan hukum pelanggaran protokol kesehatan di daerah dan juga instruksi pada tingkat pemerintah pusat. Pemberian kewenangan kepada Kepala Daerah masing-masing untuk mengatur protokol dan sanksi bagi pelanggar protokol, tidaklah memperhatikan asas dan pengaturan tentang penyusunan Peraturan Daerah (Perda) dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah) dalam UU Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 237 UU Pemerintah Daerah secara jelas mengatur bahwa yang bisa memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan aturan kepada pelanggar hanyalah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), yang memuat pentingnya pembahasan dengan DPRD. Sedangkan Perkada berdasarkan Pasal 246 UU Pemerintah Daerah hanya dapat mengatur pelaksanaan Perda ataupun kuasa peraturan perundang-undangan. Seharusnya pengaturan mengenai sanksi tidak diatur oleh Perkada, namun harus di tingkat Perda. Hal ini mengingat bahwa sanksi yang dijatuhkan merupakan pembatasan hak warga negara, sehingga ketentuan mengenai sanksi harus pula dibahas bersama dengan DPRD, tidak hanya ditetapkan secara sepihak oleh Kepala Daerah. Dalam tataran yang lebih luas, carut marutnya pengaturan ini jelas tak lepas dari Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri dalam Negeri yang tidak memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Carut marut ini juga mengenai pembagian kewenangan penegakan pelanggarannya, Pergub DKI Jakarta No. 79/2020 memuat aturan dapatnya TNI dan Polri mendampingi pengenaan sanksi pelanggaran protokol kesehatan. Ketentuan ini bertentangan dengan banyak UU, mulai dari UU TNI, UU Kepolisian termasuk kewenangan hukum acara pidana dalam KUHAP. Pertama, soal pelibatan TNI, dalam Pasal 17 ayat (1) UU TNI kewenangan pengerahan kekuatan TNI hanya dapat dilakukan oleh Presiden. Memang benar dalam Instruksi Presiden No. 6 tahun 2020 presiden telah mengerahkan kekuatan TNI, namun harus diingat dalam Pasal 17 ayat (2) UU TNI tersebut pengerahan kekuatan harus dengan pertimbangan DPR. Dalam hal ini ICJR mencermati tidak ada pertimbangan resmi DPR terkait dengan pelibatan TNI ini. Seharusnya pun Pemerintah Daerah lebih kritis mencermati instruksi pemerintah pusat, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan dalam pembentukan aturan di tingkat daerah. Sedangkan, mengenai kewenangan Polri, Pasal 14 ayat (1) huruf UU Kepolisian sudah mengatur bahwa salah satu tugas pokok polisi adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan, dalam konteks ini hanya dalam patroli dan pengawasan sedangkan dalam pengenaan sanksi ataupun upaya paksa sudah diatur jelas dalam KUHAP, bahwa hal tersebut hanya dalam konteks anggota Polri menjadi penyidik tindak pidana, bukan penegakan Perda. Penegakan hukum Perda dan Perkada, berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2010 diatur dilakukan oleh Satpol PP, bukan kepolisian. Masalah kewenangan penegakan hukum ini, penting untuk menjadi perhatian Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda). TNI, Polri dan Satpol PP telah diatur jelas pembagian kewenangannya, pengawasan kewenangan serta batasannya, TNI bertugas mengurus masalah pertahanan dalam konteks perang, Polri untuk keamanan dalam konteks adanya tindak pidana, Satpol PP penegakan perda di tingkat lokal, jangan sampai adanya pandemi yang direspon oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan justru membuat carut marut batasan pengaturan.
ICJR menghimbau baik kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk tidak mengabaikan asas-asas dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, utamanya yang berkaitan dengan sanksi dan juga kewenangan penegakan hukum, yang mengandung unsur-unsur pembatasan hak warga negara. Pemerintah Pusat harus memperhatikan semua batasan-batasan yang sudah ada di dalam undang-undang, yang juga sudah mengatur pula kondisi-kondisi darurat. Kondisi darurat harus dinyatakan jelas pemerintah, pelibatan DPR penting untuk menjamin akuntabilitas, batasan yang sudah dimuat dalam peraturan perundang-undangan tetap harus diperhatikan. Dan untuk DPR pun sebagai wakil rakyat harus lebih cermat dan proaktif mengawasi kerja-kerja pemerintah dalam penanganan Covid-19, jangan sampai kebijakan yang bertentangan dengan peraturan dapat lolos begitu saja.
Sedangkan untuk Pemerintah Daerah, ICJR mengingatkan kembali bahwa dalam kebijakan-kebijakan yang mengandung pembatasan dan sanksi, keterlibatan unsur masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh DPRD sangatlah penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja mesti ada di dalam kondisi darurat. Pemerintah Daerah sebagai pelaksana protokol kesehatan di lingkupnya masing-masing harus kritikal dalam mengikuti arahan dari pemerintah pusat.