Perdebatan yang dipicu melalui sebuah tulisan di salah satu media terkemuka di Indonesia telah membuka kembali diskusi tentang landasan filosofis dari diambilnya kebijakan rekodifikasi dari Rancangan KUHP yang saat ini tengah dibahas di DPR. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah keada bijakan rekodifikasi ini telah cukup dipertimbangkan oleh pemerintah dan tim penyusun yang dibentuk oleh pemerintah?
Untuk mencari jawaban tersebut, salah satu komponen krusial yang sering luput untuk diperhatikan dalam kajian akademik diantara komunitas hukum adalah mengenai relasi yang tercipta antara kebijakan rekodifikasi dengan ketentuan peralihan dalam R KUHP. Diadakannya ketentuan peralihan dalam suatu undang – undang umumnya bertujuan untuk pemindahan keadaan yang diakibatkan oleh adanya perubahan dari peraturan perundangan-perundangan yang ada kepada keadaan yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan yang baru sehingga perubahan tersebut dapat berjalan lancar dan teratur dan tidak membawa kegoncangan di dalam masyarakat.
Rancangan KUHP sendiri mengalami beberapa perubahan terkait dengan ketentuan peralihan. Jika sebelum 2012, R KUHP mengamanatkan adanya ketentuan peralihan yang diatur secara khusus dalam Undang – Undang tersendiri namun setelah 2012, para penyusun R KUHP memasukkan ketentuan peralihan tersebut kedalam R KUHP itu sendiri.
Salah satu masalah yang mengemuka dalam pembahasan aturan peralihan di RKUHP adalah pengaturan mengenai “ketentuan aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya RKUHP” dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah ada sebelumnya. Karena itu paper ini berupaya untuk menggali lebih jauh relasi antara kebijakan rekodifikasi dengan ketentuan aturan peralihan yang ada di RKUHP. Upaya ini dirasa perlu agar karakteristik – karakteristik khusus dari beberapa tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia dan lain – lain tidak menjadi “dilemahkan” karena adanya kodifikasi hukum pidana
Unduh Disini