Pada Kamis (21/04/2024), Mahkamah Konstitusi memutus uji materil dari pasal pencemaran nama baik di ruang siber, pasal berita bohong, serta pasal penghinaan secara lisan dalam Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanty, YLBHI, dan AJI dengan hasil yang patut diapresiasi.
Pada pembacaan putusan, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak mempertimbangkan lebih lanjut uji materiil atas Pasal 27 (3) jo. Pasal 45 (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik di ruang siber dengan alasan bahwa telah ada perubahan norma dalam UU ITE baru (UU 1/2024). Namun, menerima permohonan pemohon untuk sebagian atas uji materil Pasal 310 KUHP dan menyatakan bahwa Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang berita bohong inkonstitusional atau melanggar hak konstitusional masyarakat Indonesia.
ICJR sependapat dengan Putusan Majelis Hakim MK bahwa:
Pertama, pendapat dan/atau kritik terhadap kebijakan pemerintah, negara, lembaga negara, maupun pejabat publik merupakan bentuk hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi dan tidak boleh dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional sebagaimana tertuang dalam Prinsip-Prinsip Johannesburg yang dikutip dalam pertimbangan Putusan MK ini.
Kedua, putusan ini, terutama atas Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang penyebaran berita bohong sekiranya menjadi angin segar bagi demokrasi mengingat pasal berita bohong ini seringkali digunakan untuk menjerat jurnalis maupun masyarakat sipil. ICJR sepakat dengan Majelis Hakim MK bahwa: unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang yang sebetulnya berniat untuk memberikan kritik atau masukan bagi negara. Hal ini terutama karena tidak ada parameter yang jelas untuk menentukan “kebenaran” dan kabar yang “berlebihan” maupun unsur “keonaran” dalam Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 sehingga berpotensi subjektif dan justru dapat membatasi hak berpendapat masyarakat.
ICJR juga menyoroti tidak adanya perbedaan antara misinformasi, disinformasi, maupun malinformasi dalam pasal kriminalisasi penyebaran berita bohong pada UU 1/1946 yang meniadakan gradasi kesengajaan dari penyebaran berita bohong. Putusan Majelis Hakim MK yang menyatakan bahwa kedua pasal ini inkonstitusional sekiranya tepat mengingat sejarah pengaturan pasal ini yang sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman.
Permasalahan ke depannya, meski Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 telah dihapus, penting untuk diperhatikan bahwa ketentuan mengenai penyebaran berita bohong masih ada di UU ITE perubahan kedua, Pasal 28 (3) UU 1/2024. UU ITE saat ini masih mengatur unsur “berita bohong” yang mana telah dinyatakan oleh Majelis Hakim MK dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi membatasi kemerdekaan berpendapat.
Lebih dari itu, ICJR mengapresiasi setinggi-tingginya bagi para pejuang hak asasi manusia dan demokrasi, kepada rekan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanty, YLBHI, AJI dan para kuasa hukumnya dalam upaya penjaminan kebebasan berekspresi di Indonesia dan untuk itu, ICJR mendorong agar:
Pertama, Pemerintah dan DPR segera mencabut ketentuan yang sejenis utamanya di UU ITE, KUHP baru, atau aturan pidana lainnya ke depan.
Kedua, Pengadilan dan APH untuk memperhatikan Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 dalam implementasi pasal penghinaan individu dan penyebaran berita bohong.
Ketiga, agar APH untuk menempatkan penyelesaian menggunakan ketentuan pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), utamanya dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan jurnalis.
Keempat, Pemerintah melakukan penguatan bagi jurnalis dan edukasi terkait literasi digital bagi masyarakat sebagai upaya menangkal penyebaran berita bohong.
Hormat kami,
ICJR