Eksekusi hukuman mati seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma HAM kontemporer menurut preseden dan pengalaman Komite HAM dan atau Komite Anti Penyiksaan. Praktek ini menghasilkan bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Mereka yang mengalami proses panjang berpotensi besar mendapatkan tingkat stress yang tinggi, deresi dan gangguan kejiwaan.
Pada 2015, dalam daftar Keppres penolakan grasi ada 11 nama terpidana mati yang masuk dalam daftar tunggu eksekusi mati tahap dua yakni : Andrew Chan, (WN Australia) kasus Narkotika. (Keppres Nomor 9/G 2015), Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 28/G 2014), Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkotika (Keppres 31/G 2014), Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus narkotika (Keppres 32/G 2014), Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 32/G 2014), Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 32/G 2014), Serge Areski Atlaoui (WN Prancis) kasus narkotika (Keppres 35/G 2014), Martin Anderson alias Belo (WN Ghana) kasus narkotika (Keppres 1/G 2015), Zainal Abidin (WNI) kasus narkotika (Keppres 2/G 2015), Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol) kasus narkotika (Keppres 4/G 2015), Rodrigo Gularte (WN Brazil) kasus narkotika (Keppres 5/G 2015). Mayoritas mereka telah mengalami penundaan.
Raheem Agbaje Salami warga Negara Spanyol misalnya, ia diproses hukum dan langsung divonis hukuman mati. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dia kemudian mengajukan grasi pada 11 September 2008. Jawaban grasi tersebut baru turun tujuh tahun kemudian yang isinya ditolak. Demikian pula atas Serge Atlaoui, warga negara Prancis yang divonis mati di Indonesia terkait kasus pabrik ekstasi, Ia ditangkap kepolisian Indonesia pada 2005 lalu divonis di Pengadilan Negeri Tangerang pada 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten 2007, yang menyatakan Atlaoui harus menjalani hukuman penjara seumur hidup. Namun di putus hukuman mati pada 2007 oleh Mahkamah Agung. Ia mengalami penundaan hampir 8 tahun.
Di Indonesia praktek ini makin lazim diterapkan. Sebelumnya pada 2004 terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi, yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India, 65 tahun), dieksekusi di Sumatra Utara pada 5 Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow Prasad (India, 62 tahun) di untuk kasus yang sama Sumatra Utara pada 1 Oktober 2004, dan Namsong Sirilak (Thailand, 32 tahun) di Sumatra Utara pada 1 Oktober 2004 untuk kasus narkoba. Pada 2005, eksekusi dilakukan pada Astini (perempuan berusia 50 tahun, Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005. Di 2006 terdapat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Di 2007 eksekusi mati dilakukan terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah. Pada 19 Juli 2008, tiga terpidana mati kasus pembunuhan berencana (Sumiarsih dan Sugeng) dieksekusi di Jawa Timur dan satu lagi (Tubagus Maulana Yusuf alias Dukun Usep) dieksekusi di Lebak, Banten. Di tahun 2013 yaitu ada 17 Mei 2013, tiga terpidana mati (Suryadi, Jurit, dan Ibrahim) dalam kasus pembunuhan berencana dieksekusi mati di Nusakambangan. Adami Wilson, terpidana mati WN Malawi, dieksekusi mati di Kepulauan Seribu pada Maret 2013. Pada 8 November 2008, terpidana mati kasus Bom Bali 2002 (Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas) dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan.
Mayoritas mereka lebih diatas 8 tahun mengalami penundaan, dan harus menunggu cukup lama sejak putusan pengadilan negeri sampai dengan grasi ditolak dan eksekusi mati dilakukan. Terpidana mati di Surabaya, Sumiarsih dan Sugeng, bahkan harus menunggu sekitar 20 tahun sejak putusan pidana mati dari pengadilan negeri, hingga akhirnya dieksekusi mati. Lalu, terpidana mati kasus narkoba Namaona Denis (WN Malawi) harus menunggu 14 tahun sejak 2001, Marco Moreira (WN Brasil) menunggu 11 tahun sejak 2004, Daniel Enemuo (WN Nigeria) menunggu 11 tahun sejak 2004, dan Rani Andriani, WNI asal Cianjur, divonis mati oleh PN pada 2000 dan baru dieksekusi mati 15 tahun kemudian. Hanya Dukun Usep, yang terbukti membunuh delapan orang klien-nya pada 2006-2007, yang baru menjalani satu tahun penjara saja sebelum akhirnya dieksekusi di tahun 2008.
Selain mereka, sudah cukup banyak terpidana mati yang menunggu bertahun-tahun lamanya (death row) sebelum akhirnya dieksekusi mati.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) prihatin melihat praktek dan kondisi penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) di Indonesia. ICJR merekomendasikan bahwa kondisi ini sebaiknya menjadi pertimbangan bagi Presiden Jokowi untuk menunda eksekusi bagi terpidana hukuman mati. Mereka yang terlalu lama masuk dalam penundaan sebaiknya dialihkan hukumannya menjadi hukuman seumur hidup tanpa syarat, termasuk tanpa remisi. Ini lebih baik bagi para terpidana yang sudah mengalami penyiksaan karena kondisi penundaan yang terlalu lama. ICJR melihat bahwa kebijakan ini pun sebetulnya telah di dorong dalam Rancangan KUHP 2014-2015 versi pemerintah, dimana ada rentang 10 tahun masa transisi untuk mengalihkan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi para terpidana mati.