Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Media Defense Litigation Network menentang keras penahanan atas Benny Handoko, pemilik akun twitter @benhan. ICJR menilai bahwa penahanan atas Benny Handoko oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak memenuhi syarat – syarat penahanan sebagaimana diatur di Pasal 21 KUHAP.
Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR menilai jika penahanan atas Benny Handoko hanya mendasarkan pada syarat ancaman pidana penjara diatas 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, namun tidak mendasarkan pada adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran kalau tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ia juga menegaskan bahwa penahanan terhadap tersangka ataupun terdakwa haruslah langkah terakhir yang dapat diterapkan oleh pejabat yang berwenang menahan.
Anggara mengatakan bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 018/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangannya menyebutkan :
“Adanya pranata praperadilan (rechtsinstituut) yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang tujuannya untuk memeriksa sah tidaknya penahanan, seharusnya tidak hanya semata-mata menilai aspek formal atau administratif penahanan, tetapi juga aspek yang lebih dalam lagi yaitu rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan”
Untuk itu, ia mendesak agar pejabat yang berwenang untuk menahan dalam hal ini Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menjelaskan rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan terhadap Benny Handoko. Apalagi sejak Benny Handoko dilaporkan ke polisi pada Desember 2012, Benny Handoko tidak melakukan kegiatan yang mengarah atau dapat dianggap menimbulkan keadaan yang menimbulkan kekuatiransebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
Anggara juga menyesalkan diprosesnya laporan pidana atas Benny Handoko yang diduga melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena untuk kasus – kasus penghinaan pada dasarnya dapat digunakan mekanisme perdata ketimbang mekanisme pidana.
Anggara juga mendesak agar pemerintah memenuhi janjinya untuk merevisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama pada pasal 27 ayat (3) UU tersebut. Sampai saat ini janji pemerintah belum dipenuhi sehingga ancaman kriminalisasi yang over ini masih terus menerus terjadi.
Supriyadi W. Eddyono, Koordinator IMDLN menegaskan bahwa IMDLN bersama – sama dengan ICJR mendesak agar ketentuan penghinaan tidak lagi masuk dalam ranah hukum pidana karena dapat mengakibatkan efek ketakutan. Selain itu ia juga mengingatkan bahwa Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi ICCPR maka ketentuan – ketentuan hukum pidana yang menyangkut dengan kebebasan berekspresi wajib diselaraskan dengan ICCPR tersebut.