ICJR dan PKBI meminta agar pemerintah dan DPR membuka kembali diskusi terkait pidana aborsi dalam RKUHP, pilihannya sederhana, apabila tidak diatur minimal sama atau lebih baik daripada UU Kesehatan, maka baiknya pidana aborsi dalam RKUHP dihapuskan, bagaimanapun juga, korban perkoasaan harus dilindungi.
Dalam R KUHP versi 28 Agustus 2019, terdapat beberapa pengaturan tentang kriminalisasi beberapa perbuatan yang terkait dengan penguguran kandungan, yaitu:
- Pasal 251 ayat (1) tentang kriminalisasi memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan
- Pasal 415 tentang kriminalisasi mempertunjukkan alat untuk menggugurkan kandungan
- Pasal 470 ayat (1) tentang kriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan
- Pasal 471 ayat (1) tentang kriminalisasi setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya
Dalam Pembahasan terakhir yang dapat diketahui oleh publik (28 Mei 2018) Pemerintah dan DPR tidak menjadikan pasal-pasal ini sebagai isu yang dianggap penting sampai dengan sekarang, belum ada pembahasan mendalam terkait dengan pasal tersebut dari Pemerintah dan DPR.
Padahal berdasarkan hasil keputusan rapat panja terbuka 27 Januari 2017, panja masih menyatakan pasal-pasal tentang penguguran kandungan dipending karena Pemerintah meminta waktu untuk mengkonsultasikan rumusan aborsi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Setelah pertimbangan ini, tidak pernah didengar dalam rapat resmi apa pembahasan selanjutnya pemerintah dan DPR.
Sampai dengan versi 28 Agustus 2019 yang di-klaim Pemerintah sebagai versi final draft pemerintah, pasal-pasal tentang pengguguran kandungan masih menyisakan masalah yang mutlak harus diperbaiki oleh Pemerintah dan DPR pada masa pembahasan RKUHP ini.
Pada dasarnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menolak rumusan pasal terkait dengan penguguran kandungan atau aborsi masuk dalam RKUHP, dengan alasan berikut:
Pertama, larangan aborsi telah diatur dengan UU Kesehatan. Indonesia telah memiliki UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini secara progresif mengatur tentang aborsi, yang dalam Pasal 75 menjelaskan tentang kondisi-kondisi dimana aborsi dapat dilakukan, yaitu:
Apabila pada kehamilan terdapat
- indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Dalam Pasal 77 UU Kesehatan juga telah dinyatakan bahwa Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab. UU Kesehatan juga telah mengatur ketentuan pidana bagi aborsi yang dilakukan diluar pengecualian yang diatur dalam Pasal 75 tersebut (dalam Pasal 194 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan).
Jika kita telisik dari pembahasan UU Kesehatan, latar belakang hadirnya ketentuan mengenai aborsi adalah untuk merespon aspek kesehatan yang harusnya dilindungi dalam praktik aborsi. Dengan terus meningkatnya Angka Kematian Ibu saat Pembahasan RUU Kesehatan 2008-2009 pembentuk undang-undang lantas menghadirkan pasal tentang aborsi dalam UU Kesehatan 2009 untuk mengatur praktik aborsi aman, guna meminimalisasi AKI (Angka Kematian Ibu).
Di sisi lain belum diketahui jelas apa motif masuknya pasal-pasal aborsi dalam RKUHP selain hanya menyalin konsep KUHP sekarang, padahal UU Kesehatan saat ini merupakan salah satu momentum kunci pengaturan tentang aborsi di Indonesia, bahwa aspek kesehatan merupakan pertimbangan pertama terkait dengan praktik aborsi. Aborsi boleh dilakukan dengan pengecualian, dan UU Kesehatan juga mengatur pemidanaannya.
Kedua, RKUHP diskriminatif terhadap korban perkosaan. Namun sayangnya, sampai dengan draft versi 28 Agustus 2019, RKUHP masih memuat ketentuan mengenai penguguran kandungan. Setiap perempuan yang mengugurkan kandungannya masih dipidana. Namun secara diskriminatif, RKUHP justru memuat ketentuan seperti dalam rumusan UU Kesehatan dengan membedakan perlakukan antara dokter dengan korban. RKUHP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan penguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tidak dimuat.
RKUHP harus memuat jaminan bahwa tidak ada pemidanaan bagi aborsi yang dilakukan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan, semua aspeknya, baik aspek pengobatannya, perbuatan aborsi nya sendiri, maupun promosi kesehatan terkait hal tersebut, yang juga diatur dalam ketentuan RKUHP. Apabila ketentuan pengecualiaan tersebut tidak dimasukkan dalam RKUHP, maka hal ini bisa mengancam korban perkosaan yang melakukan penguguran kandungan, padahal apabila merujuk semangat kodifikasi Pemerintah dan DPR maka aturan tentang pengeculian seperti yang dimuat dalam UU Kesehatan harus diatur dalam RKUHP.
Ketiga, fokus Pemerintah dan DPR harusnya pengaturan yang lebih baik tentang Aborsi. Selain mengatur jaminan aborsi untuk kondisi tertentu, UU Kesehatan dalam Pasal 76 juga memuat tentang aspek administrasi pelaksanaan aborsi, salah satunya tentang batasan usia sebelum kehamilan berumur 6 minggu. Hal ini merupakan salah satu kritik terhadap UU Kesehatan, untuk korban perkosaan waktu 6 minggu merupakan waktu yang sangat singkat untuk memberikan jaminan korban perkosaan dapat melakukan aborsi. Korban perkosaan cenderung takut untuk melapor yang akhirnya membuat mereka tidak mengetahui kehamilannya, sehingga batas usia kehamilan pun melebihi syarat yang diatur. Pada kasus ini, sering kali korban perkosaan harus menelan sakit akibat melahirkan secara tidak aman (karena takut) justru malah dikriminaliasi dengan tuduhan melakukan aborsi (Seperti kasus WA di Jambi dan BL di Jakarta). Jika perumus RKUHP ingin memasukkan pengaturan tentang aborsi dalam RKUHP, maka perumus RKUHP harus menjawab permasalahan ini, bagaimana pun UU Kesehatan di Indonesia telah menjamin bahwa korban perkosaan berhak untuk melakukan aborsi, sebagai bentuk pemulihan bagi dirinya.
Atas dasar itu ICJR dan PKBI meminta agar pemerintah dan DPR membuka kembali diskusi terkait pidana aborsi dalam RKUHP, pilihannya sederhana, apabila tidak diatur minimal sama atau lebih baik daripada UU Kesehatan, maka baiknya pidana aborsi dalam RKUHP dihapuskan, bagaimanapun juga, korban perkoasaan harus dilindungi.