“Keputusan KIP tentang keterbukaan Informasi terkait Grasi terpidana mati ini harusnya menjadi dasar bagi Pemerintah untuk membuka akses informasi terkait rencana eksekusi mati, bukan malah sengaja menutupinya”
Akhirnya pada Rabu, 11 Mei 2016 lalu, Komisi Informasi Publik (KIP) memutuskan sengketa informasi terkait Keputusan Presiden (Keppres) soal Permohonan Grasi terpidana mati. Dalam Putusan No. 58/XII/KIP-PS-A-M-A/2015, dinyatakan bahwa dokumen Keputusan Presiden terkait penolakan grasi terpidana mati merupakan dokumen yang terbuka bagi publik. Keputusan ini memutus sidang sengketa selama ini, dimana Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara RI (Kemensetneg) menyatakan bahwa Keppres Grasi merupakan dokumen yang dikecualikan dari keterbukaan informasi berdasarkan Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 2 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Keamanan dan Arsip Kementerian Sekretariat Negara. Namun setelah melalui pemeriksaan berkas dalam beberapa tahapan sidang sengketa, Majelis Komisioner KIP menyatakan bahwa dasar hukum tersebut dan seluruh dalil yang digunakan Kemensetneg tidak relevan dan tidak berdasar.[1]
Berdasarkan Pasal 3 UU Keterbukaan Informasi Publik yang pada pokoknya menjamin hak warga negara untuk mengetahui alasan pengambilan suatu keputusan publik, Majelis Komisioner berpendapat bahwa Keputusan Presiden tentang Grasi merupakan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik atau masyarakat, sehingga pengecualian terhadap permohonan informasi Keppres Grasi yang dilakukan Kemensetneg tersebut, lagi-lagi tidak relevan dan tidak berdasar. Sehingga Majelis Komisioner memutus bahwa Keputusan Presiden tentang Grasidikategorikan sebagai suatu informasi yang terbuka bagi publik dan wajib tersedia setiap saat.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut keputusan ini sebagai langkah maju bagi keterbukaan informasi terkait proses eksekusi mati di Indonesia yang selama ini sangat sulit memperoleh dokumen-dokumen resmi termasuk mengenai penolakan atau diterimanya Grasi bagi terpidana mati di Indonesia. Keputusan KIP tentang keterbukaan Informasi terkait Grasi terpidana mati ini harusnya menjadi dasar bagi Pemerintah untuk membuka akses informasi terkait rencana eksekusi mati, bukan malah sengaja menutupinya. ICJR mengkritik kebijakan pemerintah yang secara sengaja menutup-nutupi Informasi ke publik mengenai rencana eksekusi terpidana mati tahap III selama pemerintahan Jokowi.
Sebelumnya ICJR pada 1 September 2015 telah mengirimkan permintaan informasi kepada Presiden untuk meminta informasi mengenai Keppres Grasi tersebut. Namun permintaan informasi dari ICJR itu ditolak oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemensetneg dengan alasan informasi tersebut merupakan informasi yang dikecualikan, yang apabila dibuka dapat mengungkap akta otentik yang bersifat pribadi seseorang sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 huruf g Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. ICJR kembali melayangkan keberatan terhadap jawaban tersebut pada 1 Oktober 2015. Menurut ICJR, Pasal 97 dan Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lebih lanjut, suatu Keputusan Presiden bukan merupakan suatu “akta otentik yang bersifat pribadi seseorang”. Kebijakan Kemensetneg yang mengkualifikasikan salinan dokumen Keputusan Presiden tentang Grasi Terpidana Mati sebagai akta otentik tidak jelas dasar hukumnya.
Gugatan ini resmi di daftarkan ICJR ke KIP karena publik di Indonesia tidak dapat mengakses dokumen penolakan/diterimanya grasi tersebut. Padahal keterbukaan atas syarat dan prosedur maupun pertimbangan pemberian Grasi merupakan bentuk akuntabilitas suatu Badan Publik berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) selaku Badan Publik yang berada dalam unsur eksekutif dibawah Presiden berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah sepatutnya dapat membuka dan mempublikasikan setiap Keputusan Presiden Grasi terhadap Terpidana mati kepada masyarakat Indonesia, yang justru tidak dilakukan oleh Kemensetneg.
Pada 15 Februari 2016 yang lalu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) akhirnya secara resmi bersidang di Komisi Informasi Publik. ICJR melakukan sidang perdana gugatan keterbukaan informasi publik melawan Kementerian Sekretariat Negara (Mensetneg). Sidang ini adalah ujung dari tidak ditanggapinya surat ICJR kepada Mensetneg terkait permohonan informasi publik mengenai Permintaan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Grasi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. ICJR menilai bahwa Keppres Grasi ini dibutuhkan sebagai bahan kajian untuk melihat bagaimana proses Pemerintah dalam hal ini Presiden menolak atau menerima suatu permohonan Grasi. Kajian ini nantinya akan menunjukkan apakah Presiden melakukan pertimbangan mendalam terkait kebijakan mengeluarkan Keppres Grasi atau tidak.