Mengingat Pasal 21 UU Tipikor memiliki muatan norma yang multitafsir dan membuka peluang kriminalisasi terhadap seseorang yang dinilai menghalang-halangi penegak hukum termasuk advokat, maka Dr. Hermawanto, S.H., M.H. selaku pemohon sekaligus advokat mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal tersebut. Permohonan uji materiil teregistrasi dalam perkara 71 PUU-XXIII 2025 dan kini tengah berada pada tahap pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 21 UU Tipikor ini sebelumnya telah diajukan beberapa kali judicial review, tetapi tak satu pun yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Namun, dengan objek permohonan uji yang berbeda, pemohon mendalilkan ketentuan frasa “atau tidak langsung” berpotensi disalahgunakan oleh aparat penegak hukum, karena membuka peluang penafsiran yang luas dan bersifat subjektif sehingga rentan terjadi represifitas aparat penegak hukum tentang tindakan yang dianggap menghalangi proses hukum.
Kami sebagai amici mencermati praktek penggunaan Pasal 21 UU Tipikor senyatanya telah meluas dan bahkan tidak hanya menyasar advokat dalam mendampingi klien kasus korupsi melainkan juga terhadap jurnalis, perusahaan media, maupun masyarakat sipil. Seperti halnya pada bulan April 2025 Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 (tiga) orang tersangka yakni Marcella Santoso (MS) selaku advokat, Junaedi Saibih (JS) selaku advokat, dan Tian Bahtiar (TB) selaku Direktur Pemberitaan Jak TV.
Oleh karena itu dalam amicus curiae yang kami kirimkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terdapat dua poin yang coba kami simpulkan:
- Konstruksi Pasal 21 UU Tipikor sangat berbeda dengan pengaturan obstruction of justice yang termuat dalam KUHP yang berlaku saat ini. Dimana KUHP yang berlaku saat ini memberikan batasan yang jelas mengenai bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang serta mensyaratkan adanya maksud dan tujuan perbuatan pelaku melakukan obstruction of justice, sementara Pasal 21 UU Tipikor justru sebaliknya diatur sangat umum sehingga malah melahirkan permasalahan pengaturan yang multitafsir. Akibatnya, Pasal a quo terbukti akhirnya diterapkan secara meluas dan rentan menimbulkan praktik malicious prosecution dan judicial prosecution pada setiap orang termasuk terhadap advokat.
- Ketentuan obstruction of justice pada KUHP 2023 telah mengandung beberapa perbaikan dari ketentuan pasal obstruction of justice dalam KUHP yang berlaku saat ini. Dimana ketentuan obstruction of justice pada KUHP 2023 memperjelas rumusan pasal-pasal dengan menguraikan secara rinci perbuatan- perbuatan apa saja yang tergolong sebagai tindakan yang bertujuan untuk menyesatkan proses peradilan maupun menganggu dan merintangi proses peradilan.
Dengan demikian, ICJR merekomendasikan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pengujian perkara a quo untuk mencabut Pasal 21 UU Tipikor agar ketentuan pidana terhadap obstruction of justice tidak tumpang tindih dengan ketentuan pidana dalam Pasal 221 KUHP saat ini dan dengan ketentuan pidana yang dapat diterapkan ke depan dalam KUHP 2023 khususnya Pasal 278 dan Pasal 282.
Jakarta, 1 Juli 2025
Hormat Kami
ICJR
Unduh amicus curiae di sini