Pada 18 April 2017, ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas perkara Asep Sunandar dengan nomor register perkara: 2227/Pid.B/2016/PN.JKT.BAR. “Amicus curiae” atau “Friends of the Court” merupakan praktik yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law. Melalui mekanisme Amicus Curiae ini, pengadilan diberikan izin untuk menerima-mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.
Amicus Curiae yang dalam bahasa Inggris disebut “friend of the court”, diartikan “A person who is not a party to a lawsuit but who petitions the court or is requested by the court to file abrief in the action because that person has a strong interest in the subject matter”. Karena itu dalam Amicus Curiae ini, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapatya kepada pengadilan.
Asep Sunandar adalah buruh harian lepas asal Serang yang bekerja di Jakarta Barat. Dalam penyidikan perkaranya Ia diduga kuat mengaami penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian Polres Jakarta Barat untuk mengaku sebagai pelaku perampokan.
Asep bersama tiga orang temannya ditangkap dirumah sewanya oleh anggota Kepolisian Sektor Taman Sari dalam keadaan mata tertutup dan sambil dipukuli untuk dibawa ke suatu tempat. Ia juga dipukul dan disetrum, bahkan diancam akan di bor. Tidak hanya itu, Asep sempat meminta minum namun seorang anggota kepolisian malah meludah kedalam mulutnya. Penyiksaan masih berlanjut dan dipaksa untuk mengakui peristiwa perampokan. Karena tidak kuat menahan sakit, ia lalu mengiyakan tuduhan perbuatan yang tidak ia lakukan. Setelah mengakui peristiwa tersebut, Asep dibawa ke luar ruangan, punggungnya dipukul dan kakinya ditendang, dan betisnya ditembak tanpa alasan yang sah.
Dalam kondisi tersebut, Asep lalu dibawa masuk ke mobil lalu dibawa ke Klinik untuk mengobati luka tembak dan setelah itu dibawa ke Polsek Taman Sari untuk menuangkan keterangan-keterangan yang disampaikan Asep pada saat dilakukan penyiksaan kedalam Berita Acara Pemeriksaan. Pada saat itu, Asep tidak didampingi kuasa hukum.
Selanjutnya ia ditahan di Polres Jakarta Barat, dan baru didampingi kuasa hukum pada pemeriksaan tahap 2 di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 10 November 2016. Proses tetap berlanjut hingga perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan nomor register perkara: 2227/Pid.B/2016/PN.JKT.BAR. Asep Kemudian didakwa melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 365 KUHP.
Kasus Asep menunjukkan bahwa praktek penyiksaan masih menjadi bagian dalam proses penyidikan di Indonesia. Anehnya Regulasi yang ada di Indonesia sulit untuk mencegah praktek semacam ini. Oleh karena itu perlu mendorong agar praktek-praktek seperti ini dihentikan di masa depan dan pelakunya harus dihukum. Dalam R KUHP penyiksaan dalam kasus seperti yang dialami oleh Asep telah di kriminalisasi secara khusus. Sedangkan dalam Rancangan KUHAP, alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum dapat diartikan termasuk alat bukti yang didapat dengan metode penyiksaan dan/atau dikumpulkan dengan cara yang melawan hukum pada umumnya.
Namun sembari menunggu hasil pembahasan Rancangan KUHP-KUHAP, Pemerintah Indonesia harusnya tetap berupaya menyusun RUU Anti Penyiksaan. Penyusunan ini sebagai respon terhadap masih maraknya tidak penyiksaan dalam sistem peradilan pidana. RUU Anti Penyiksaan juga telah memberikan pengertian secara rinci terkait tindakan penyiksaan, baik penyiksaan fisik maupun penyiksaan mental dan juga pencantuman hak dari setiap orang yang ditahan atau dirampas kebebasannya untuk menghindari potensi terjadinya tindak pidana penyiksaan.
Unduh Disini