Bebaskan Siti Aisyah : Pemerintah Harus Hindari Standar Ganda Soal Fair Trial dan Hukuman Mati
ICJR mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia yang memastikan Siti Aisyah mendapatkan fair trial selama proses persidangan di luar negeri hingga akhirnya dapat terbebas dari tuntutan hukuman mati. Terhadap hal tersebut, ICJR mendorong Pemerintah agar juga berkomitmen untuk memastikan penerapan fair trial dan penghapusan penuntutan hukuman mati terhadap orang-orang yang diadili di dalam negeri.
Pada hari Selasa 12 Maret 2019, Siti Aisyah, WNI yang sempat dituntut hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap Kim Jong Nam akhirnya dapat pulang ke tanah air setelah dakwaan yang dituduhkan kepadanya dibatalkan. Pemerintah menyatakan bahwa perjuangan untuk membebaskan Siti Aisyah dari cengkraman hukuman mati merupakan upaya panjang yang telah dimulai sejak pertama kali ia ditangkap aparat setempat. Menteri Luar Negeri sempat menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia memperjuangkan agar Siti Aisyah mendapatkan fair trial selama proses peradilan yang berlangsung selama lebih dari 2 tahun tersebut. Atas hal tersebut, Presiden Jokowi sebelumnya juga mengungkapkan rasa syukurnya terhadap bebasnya Siti Aisyah.
Sikap kelegaan Pemerintah tersebut tercermin karena dalam kasus Siti Aisyah, prinsip-prinsip fair trial dalam proses peradilan di Malaysia telah diterapkan dengan baik dan ia akhirnya dapat terhindar dari hukuman mati. ICJR melihat bahwa kedua hal tersebut seharusnya dapat pula diterapkan di Indonesia namun sayangnya komitmen Pemerintah untuk mewujudkan penerapan fair trial dan penghapusan penuntutan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia masih belum terlihat.
Dalam Laporan Penerapan Fair Trial di Indonesia 2018 yang disusun oleh ICJR juga ditemukan bahwa pemenuhan hak-hak fair trial misalnya terkait pendampingan penasehat hukum masih bermasalah. Masalah yang paling mendasar adalah mengenai kualitas dari penasehat hukum yang mendampingi tersangka/terdakwa sehingga berpengaruh pada proses pembelaan yang kurang maksimal. Di sisi lain, menurut ICJR dalam kasus Siti Aisyah di atas, salah satu aspek yang mendasari perolehan fair trial tersebut adalah adanya dukungan yang kuat dari Pemerintah Indonesia dalam memberikan akses terhadap pedampingan hukum bagi Siti Aisyah.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ICJR tentang penerapan fair trial dalam kasus-kasus hukuman mati yang diluncurkan pada Januari 2019, jumlah penuntutan hukuman mati di Indonesia masih sangat tinggi meskipun eksekusi terpidana mati tidak dilakukan selama 3 tahun terakhir. Penuntutan hukuman mati tercatat dilakukan terhadap sebanyak 59 orang (2016), 32 orang (2017), dan 48 orang (2018). Kemudian, per 1 Februari 2019 data dari Kemenkumham juga menunjukkan bahwa terdapat 235 terpidana mati yang sedang menunggu eksekusi atau yang berada dalam death row. Bahkan per Oktober 2017, terdapat 42 terpidana mati yang telah menjalani masa pidana di pemasyarakatan selama lebih dari 10 tahun. Bahkan terdapat 1 orang yang telah divonis hukuman mati sejak 35 tahun yang lalu dan saat ini berusia 80 tahun tanpa kepastian.
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya standar ganda antara upaya Pemerintah dalam mendorong penerapan fair trial dan penghapusan penuntutan hukuman mati yang dialami oleh WNI di luar negeri dengan orang-orang yang diadili di Indonesia, ICJR memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi agar memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan moratorium terhadap penuntutan hukuman mati dan menghentikan eksekusi hukuman mati mengingat masih belum berjalan baiknya penerapan dan standar fair trial di Indonesia. Khusus untuk fair trial, maka memastikan standar tinggi bagi seluruh kasus utamanya kasus-kasus pidana mati harus mulai dipikirkan masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain itu, Pemerintah juga harus mendorong mekanisme komutasi atau pengubahan hukuman terhadap terpidana mati yang telah berada dalam death row dalam waktu yang sudah cukup lama. Hal ini dikarenakan telah terjadi pembinaan disamping juga adanya penghukuman ganda terhadap terpidana, dan tentu hal ini sesuai dengan semangat kebijakan “jalan tengah” Indonesia terkait hukuman mati yang juga telah dituangkan dalam Rancangan KUHP.
———–
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan
Artikel Terkait
- 16/01/2019 Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia
- 12/06/2015 Gambaran Umum Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia
- 27/04/2022 Menimbang Nyawa: Buku Saku Pertimbangan-Pertimbangan Penting Pengadilan dalam Kasus Hukuman Mati
- 12/08/2020 Polri Harus Buka Penyidikan Perkara Pidana terhadap Dugaan Penyiksaan dan Pembunuhan Hendri
- 05/07/2020 Penuntutan dan Penjatuhan Hukuman Mati Saat Masa Pandemi Adalah Hal yang Mengerikan
Related Articles
Permohonan Hak Uji Materiil Pasal 52 Ayat (1) Huruf I dan J Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
Hak atas kesehatan, sejatinya adalah hak setiap warga negara. Hak ini seharusnya dapat diperoleh oleh setiap warga negara, dan disediakan oleh
BUKU LAPORAN PEMANTAUAN SIDANG BAGIAN 1: “TIADA PENGAMANAN SEPAK BOLA SEHARGA NYAWA RATUSAN SUPORTER”
Laporan pemantauan sidang atas Tragedi Kanjuruhan ini dibuat dalam bentuk buku hasil kolaborasi Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama
ICJR : RPP UU SPPA Belum Terbit, Pemerintah Lambat!
Pada 20 November nanti, Indonesia dan Dunia akan memperingati kelahiran Konvensi Anak Sedunia, yang disetujui pada 20 November 1989. Indonesia