Bicara Mengenai Hak Hidup, Menolak Ketidakadilan dan Menyentuh Kemanusiaan Pada KAA, Presiden Joko Widodo Harus Hentikan Rencana Eksekusi Pidana Mati
ICJR memandang bahwa langkah Pemerintah dibawah Presiden Joko Widodo dalam melanjutkan rangkaian eksekusi mati bertolak belakang dengan sikap yang diambil Presiden dalam beberapa waktu terakhir. Dalam pidato Presiden Joko Widodo pada pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada Rabu 22 April 2015, Presiden bebicara lantang mengenai hak hidup, menolak ketidakadilan dan menyentuh kemanusiaan. Pidato yang banyak dipuji oleh negara sahabat dan warga negara Indonesia ini ternyata tidak bertahan lama dalam tataran praktik, di Indonesia, hak untuk hidup, hak atas keadilan dan kemanusiaan masih bias.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (JAM-Pidum Kejagung) telah menerbitkan surat perintah pelaksanaan eksekusi mati kepada jaksa eksekutor terhadap sepuluh terpidana mati gelombang kedua. Nama-nama sepuluh terpidana mati yang akan diekseksusi adalah Martin Anderson alias Belo, Zainal Abidin, Raheem Agbajee Salame, Rodrigo Gularte, Mary Jane Fiesta Veloso, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Serge Areski Atlaoi, Okwudili Oyatanze, Sylvester Obiekwe Nwolise. Surat tersebut diterima oleh Jaksa Eksekutor pada pada 23 April 2015, satu hari setelah Presiden Joko Widodo dipuji karena pidato kemanusiaannya.
ICJR menilai bahwa banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Joko Widodo apabila akan menjalankan eksekusi mati. Berdasarkan penelusuran ICJR, Indonesia masih bermasalah denga problem fair trial, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana mati banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil. Dalam beberapa contoh kasus, Zainal Abidin misalnya, dirinya terindikasi disiksa dan diintimidasi oleh penyidik, tidak didampingi kuasa hukum atau tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak dari negara pada awal interogasi, saksi yang diajukan diruang sidang juga sangat minim.
Mary Jane Fiesta Veloso, diduga juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak. Peran dirinya dalam jaringan narkotika juga sangat lemah, Mary Jane Fiesta Veloso merupakan kurir yang dijebak, dengan peran yang sangat minim maka tingkat kesalahan Mary Jane Fiesta Veloso tidak pula layak dijatuhi pidana mati.
Eksekusi hukuman mati juga seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma HAM kontemporer menurut preseden dan pengalaman Komite HAM dan atau Komite Anti Penyiksaan. Praktek ini menghasilkan bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Mereka yang mengalami proses panjang berpotensi besar mendapatkan tingkat stress yang tinggi, deresi dan gangguan kejiwaan. Pada 2012, Juan Mendes, Pelapor khusus PBB untuk penyiksaan dan perlakukan merendahkan martabat manusia lainnya, menyatakan bahwa praktek penundaan lama dalam penjara adalah bagian dari penyiksaan.
Selain itu Indonesia juga masih punya pekerjaan rumah dalam menyelesaikan persoalan TKI yang terncam pidana mati diluar negeri, melakukan evaluasi pada rencana eksekusi mati akan menaikkan posisi tawar Indonesia untuk menyelamatkan nyawa WNI di luar negeri. Indonesia juga harus menjawab tanda tanya dunia terkait putusan Yusman, terpidana mati yang diduga masih anak, disiksa dan diintimidasi, kasusnya direkayasa dan tidak mendapatkan bantuan hukum ayng layak.
Dari problem ini, ICJR menilai bahwa ada baiknya pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan review terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip fair trial. Posisi Indonesia yang sedang baik paska KAA harus dijadikan cermin terkait praktik eksekusi mati yang bertentangan dengan kemanusiaan. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati agar tidak dianggap inkonsistens dengan prinsip hak untuk hidup, menolak ketidak adilan dan kemanusiaan yang dikumandangkannya pada pidato pembukaan KAA.