Penjatuhan pidana bagi korban kekerasan seksual bukanlah hal yang tepat. Kekerasan seksual merupakan sebuah kejahatan yang kompleks dan korbannya lebih membutuhkan bantuan dari negara untuk mengobati trauma daripada penghukuman dalam bentuk pidana penjara, terlebih jika yang terlibat adalah anak-anak.
Pada Kamis, 19 Juli 2018, seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Batanghari, Jambi dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian karena melakukan aborsi. Menurut berita yang dilansir oleh JakartaPost, kandungan yang digugurkan tersebut merupakan hasil perkosaan yang dilakukan oleh kakak anak perempuan tersebut. Perkosaan dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali oleh kakak anak perempuan tersebut sejak September 2017 dan selama 8 (delapan) kali tersebut pelaku perkosaan mengancam akan melukai apabila keinginannya tidak dipenuhi.
Pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi di Indonesia bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, pada 2016, BL seorang pekerja rumah tangga di Jakarta, dituntut 8,5 tahun penjara setelah membuang janin hasil perkosaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang dikenalnya dari Facebook. Namun demikian, dalam kasus tersebut majelis hakim yang memeriksa kasus tersebut menolak tuntutan dari jaksa dan menjatuhi pidana berupa bimbingan di panti sosial karena mempertimbangkan kondisi korban yang mendapatkan tekanan batin dan trauma pada saat melahirkan bayi yang tidak diduga sama sekali.
Meskipun tindakan Aborsi merupakan salah satu perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 346 KUHP serta Pasal 45A jo. 77A UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi tindakan aborsi dapat dilakukan berdasarkan alasan kehamilan terjadi akibat perkosaan, yang dapat mengakibatkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Sayangnya, meskipun ketentuan yang memberikan pengecualian bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi sudah ada di dalam UU Kesehatan, namun ketentuan tersebut dalam perjalanannya tidak juga memberikan jalan keluar bagi korban-korban perkosaan yang mengalami trauma dan ingin menggugurkan kandungannya. Hal ini dikarenakan ketatnya persyaratan untuk melaksanakan aborsi bagi korban perkosaan tersebut, yang hanya dapat dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari, terhitung sejak hari pertama haid terakhir. Padahal dalam praktiknya, seringkali perempuan korban perkosaan tidak mengetahui dirinya sedang mengandung hingga usia kehamilannya lebih dari 40 hari. Sehingga, ketika mengetahui dirinya mengandung, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan aborsi yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat selama ini juga tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap ketatnya aturan batas waktu 40 hari ini.
Penjatuhan pidana penjara terhadap perempuan yang melakukan aborsi karena kehamilan yang dialaminya karena perkosaan, seperti yang dijatuhkan oleh PN Muara Bulian adalah tidak tepat. Pengadilan seharusnya tidak hanya melihat larangan aborsi yang terdapat di dalam KUHP dan UU Kesehatan namun juga wajib berpedoman kepada ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 dan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Selain itu, Pengadilan juga wajib mempertimbangkan hak – hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Meskipun fenomena pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi ini sudah beberapa kali terjadi, dalam RKUHP, ketentuan mengenai aborsi yang dilakukan dengan alasan korban perkosaan, justru tidak diakomodasi oleh Tim Perumus RKUHP. Pengecualian pemidanaan hanya berlaku bagi dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan, namun tidak berlaku bagi perempuan yang kandungannya digugurkan itu sendiri. Hal ini, nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan banyaknya kasus kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi.
Maka dari itu, ICJR memberikan beberapa catatan dan rekomendasi:
Pertama, ICJR meminta agar Mahkamah Agung secara konsisten mendorong para hakim yang memeriksa perkara untuk selalu memperhatikan ketentuan Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan perempuan korban kekerasan seksual serta memperhatikan dengan hati – hati terkait dengan kasus kekerasan seksual mengingat kompleksitas dari perkara tersebut, dan selalu mengutamakan pemenuhan hak-hak korban sesuai dengan UU PSK, utamanya bagi korban kekerasan seksual daripada pemidanaan
Kedua, ICJR mendorong agar Pemerintah dan DPR untuk segera membentuk sistem layanan dan penanganan korban kekerasan seksual yang terpadu agar penanganan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang komprehensif
Ketiga, ICJR meminta agar pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada termasuk dalam R KUHP, yang mengatur dan terkait dengan pengguguran kandungan ketentuan agar korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang proporsional alih – alih menjadi korban yang kedua kali dari sistem peradilan pidana.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan. Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel