Polres Jakarta Selatan telah menetapkan MAS (14 tahun) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) dalam kasus pembunuhan di Lebak Bulus. MAS mengaku telah melakukan penikaman terhadap ayah, ibu, dan neneknya, yang mengakibatkan ayah dan neneknya meninggal dunia sementara ibunya selamat, tapi mengalami luka parah.
ICJR turut prihatin dan berbelasungkawa atas kejadian pembunuhan tersebut. Namun, kami mengkritisi setiap bentuk stigma dan narasi penjatuhan hukuman yang berat bagi ABH. Atas munculnya pemberitaan kasus ini, publik menarasikan stigma kepada ABH MAS tersebut, hingga bahkan mendorong adanya pidana mati. Kami menyayangkan adanya sikap publik yang demikian, kami mendorong dengan sangat agar narasi untuk menghukum anak lebih berat jangan sampai diamini oleh aparat penegak hukum, apalagi diterapkan dalam proses hukum yang berjalan. Aparat Penegak Hukum harus tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan aparat penegak hukum beserta jajaran yang wajib mengimplementasikan UU SPPPA seharusnya mampu mengidentifikasi akar masalah dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Sebenarnya berbagai penelitian yang komprehensif dengan metode meta-analisis telah membuktikan bahwa tidak ada faktor tunggal yang menentukan mengapa anak melakukan kekerasan. Terdapat faktor individual dan sosial yang saling berkelindan menjelaskan faktor anak melakukan kekerasan (Handbook of Crime Correlates, Ellis, Beaver, & Wright, 2009). Misalnya faktor Individual berupa anak usia muda adanya depresi dan kecemasan, masalah personal: risk-taking, hyperactivity egocentrism, deficiencies in executive functions, IQ rendah kosa kata terbatas ((Barker et al., 2011; Séguin, Parent, Tremblay, Zelazo, 2009). Faktor keluarga juga mempengaruhi seperti adanya masalah komposisi keluarga, pengawasan orang tua yang minim, hingga juga adanya pola asuh yang otoriter dan pendisiplinan yang inkonsisten(Capaldi & Patterson, 1996). Faktor pendidikan juga berpengaruh, yaitu adanya kemungkinan anak berada di sekolah dengan tingkat kekerasan dan penyimpangan yang tinggi (Farrington, 1989;Ribeaud & Eisner, 2010), memiliki teman yang delinquent atau antisosial (Moffitt, 1993; Pratt et al., 2010; Thornberry et al., 1995) atau juga anak menjadi menjadi anggota kelompok kekerasan (Decker, Katz, & Webb, 2008; Herrenkohl et al., 2000; Klein & Maxson, 2012).
Apabila ditinjau lebih lanjut, perilaku kekerasan yang dilakukan anak dalam kasus ini merupakan salah satu bentuk perilaku agresif anak, yaitu perilaku untuk menyakiti orang lain secara fisik, verbal, maupun psikologis. Salah satu faktor lainnya yang mempengaruhi munculnya perilaku agresif adalah faktor keluarga. Pola pengasuhan orang tua dalam mendidik anak berperan dominan membentuk perilaku agresif, seperti pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting).
Pola pengasuhan otoriter biasanya ditandai dengan sikap orang tua yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan pendapat dan perasaannya, memaksa anak untuk mengikuti perintah, hingga membatasi dan mengontrol anak. Sikap demikian pada akhirnya mengakibatkan kemarahan dan rasa terganggu pada anak, yang sering kali berujung pada perilaku agresif.
Dengan begitu kompleksnya faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan yang dilakukan anak, maka sudah seharusnya kasus ini ditinjau lebih komprehensif dengan tidak mengedepankan pemidanaan apalagi narasi hukuman berat pada anak. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa setiap keputusan yang berdampak pada ABH didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Hal itu dapat dilakukan dengan kolaborasi antara APH, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan berbagai pihak yang terkait dalam penanganan ABH sesuai dengan UU SPPA.
Para pihak juga perlu memastikan ketersediaan penelitian masyarakat (litmas) yang berkualitas dan hasil penelitian yang substansial. Selain itu, pendampingan hukum dan non-hukum yang proporsional penting untuk diperhatikan.
Salah satu perhatian yang ICJR berikan adalah mengenai praktik pendampingan ABH baik pendampingan hukum dan juga non hukum saat ini masih belum maksimal. Kondisi ini disebabkan oleh peran dan koordinasi yang belum jelas dan belum substansial antar layanan pendampingan, sehingga mengakibatkan tumpang tindih dan kesenjangan layanan untuk sepenuhnya menjamin anak dijauhkan dari penghukuman dan pemenjaraan (PUSKAPA, 2020).
ICJR juga terus menekankan bahwa solusi berupa pemenjaraan berat untuk anak bukan jawaban. Terdapat dampak buruk pemenjaraan bagi anak. Studi longitudinal Barnert, dkk, 2019 terhadap 14.689 orang dewasa menemukan perbandingan individu yang dipenjara saat anak-anak memiliki hasil kesehatan yang lebih buruk saat dewasa, termasuk kondisi kesehatan umum, keterbatasan fungsional, gejala depresi, dan kecenderungan bunuh diri, dibandingkan mereka yang pertama kali dipenjara saat usia lebih tua atau tidak pernah dipenjara. Sehingga, respon yang diberikan harus tidak menitikberatkan pada hukuman penjara.
Oleh karena itu, dalam penanganan kasus ini, ICJR mendorong agar:
- Pembimbing Kemasyarakatan perlu melakukan penelitian kemasyarakatan secara substansial dengan memperhatikan faktor-faktor pada diri dan lingkungan anak, mengkaji latar belakang anak secara komprehensif dan merekomendasikan intervensi yang komprehensif tidak hanya pemenjaraan;
- Aparat penegak hukum di setiap tahapan proses peradilan agar menjamin hak anak atas pendampingan hukum efektif, serta memastikan penerapan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sesuai amanat UU SPPA; dan
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses penanganan kasus dan menjamin akses anak dalam memperoleh perlindungan serta menyediakan layanan konsultasi psikologis untuk anak secara komprehensif, bahkan sampai nantinya anak memperoleh pembinaan pasca proses hukum.
Jakarta, 3 Desember 2024
Hormat Kami
ICJR