Selasa, 31 Mei 2016, Institute for Criminal Justice Reform diundang oleh Panita Khusus (Pansus) RUU Perubahan UU Terorisme (RUU Terorisme) untuk memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung DPR/MPR RI. Dalam RDPU ini hadir pula Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Aliansi Indonesia Damai (AIDa), OIC Youth, Yayasan Penyintas Indonesia, dan Front Pembela Islam (FPI).
Dalam RDPU ini, ICJR menyampaikan beberapa pokok persoalan yang menjadi inti pengaturan dalam RUU Terorisme. Isu penting tersebar dari mulai masalah Upaya Paksa, Anak sebagai pelaku Terorisme, Pidana Mati dan Pencabutan Kewarganegaraan, sampai dengan minimnya penguatan hak korban. Seluruh materi tersebut sudah disampaikan dalam bentuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke Pansus RUU Terorisme dengan catatan dan masukan ke DPR adalah sebagai berikut :
Pertama, Terkait upaya paksa, ICJR menilai ketentuan yang ada dalam RUU Terorisme berpotensi besar melanggar hak asasi manusia dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar fair trial. Penangkapan yang mencapai 30 hari dan penahanan pra persidangan yang mencapai 450 hari menjadi pengaturan yang dikritik keras oleh ICJR. ICJR menilai bahwa pemerintah sama sekali tidak memberikan penjelasan yang rasional kenapa membutuhkan waktu begitu lama untuk menangkap dan menahan seseorang. Berdasarkan hasil pemantauan ICJR, sampai dengan hari ini, tidak ada tersangka dan terdakwa Terorisme yang dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum acara pidana yang diatur baik dalam KUHAP atau UU Terorisme yang saat ini berlaku masih efektif.
ICJR juga menggarisbawahi bahwa masa penangkapan yang mencapai 7×24 jam dalam UU Terorisme saat ini saja sudah membawa praktik penahanan “InCommunicado” atau penahanan yang dilakukan tanpa memberikan kepastian hukum terkait akses pada informasi dan keberadaan tahanan. Praktik ini menjadi latar belakang banyak penyiksaan yang terjadi dalam proses peradilan kasus terorisme, tidak dapat dibayangkan apabila masa penangkapan itu diperpanjang menjadi 30 hari. Ketentuan ini juga melanggar hak dari tersangka untuk sesegera mungkin diajukan ke ruang sidang.
Upaya paksa lainnya yang menjadi persoalan adalah terkait penyadapan. Dalam RUU Terorisme, penyadapan yang dilakukan aparat diatur dengan melonggarkan aturan yang sudah ada, menghilangkan izin pengadilan dan menghapus jangka waktu penyadapan. ICJR menilai bahwa harusnya pengaturan kontrol terkait penyadapan diperkuat, bukan diperlemah, sebab penyadapan sangat berpotensi disalahgunakan apabila tidak dikontrol dan diawasi dengan ketat. Belum lagi, dalam konteks UU Terorisme, penyadapan adalah bagian upaya paksa dalam konteks penegakan hukum, bukan penyadapan dalam hal intelijen, sehingga pengaturannya harus tunduk pada konsep proses peradilan pidana. ICJR juga menilai bahwa keputusan untuk menghapuskan ketentuan yang sudah ada tidak didukung data yang kuat seperti apakah ada kendala dalam penyadapan yang selama ini dilakukan penyidik atau berapa jumlah penyadapan yang tidak berhasil dilakukan dikarenakan adanya izin pengadilan dan jangka waktu penyadapan.
Kedua, ICJR mendesak DPR menghapuskan pasal “Guantanamo” dalam RUU Terorisme yang ada dalam Pasal 43B RUU Terorisme, yaitu tindakan penanggulangan berupa pencegahan terhadap orang tertentu di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum selama 6 bulan. Pasal ini dapat berakibat adanya pelanggaran hak asasi manusia karena dilakukan tanpa alasan dan pengaturan yang jelas. Tidak ada kepastian hukum dalam Pasal ini, selain pasal ini juga akan menambah problem hak asasi manusia di Indonesia.
Ketiga, ICJR meminta DPR untuk menghapus hukuman mati dan mengevaluasi adanya pidana pencabutan kewarganegaraan. ICJR menilai hukuman mati tidak efektif karena berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia yang sudah lama menerapkan hukuman mati untuk kasus terorisme, hukuman mati justru bisa menjadi inspirasi baru bentuk perlawanan baru terhadap negara karena ideologi siap mati yang diusung teroris. Pencabutan Kewarganegaraan harus dievaluasi ulang karena tehknisnya tidak jelas, bukan bagian dari sistem pemidanaan yang dikenal di Indonesia dan dapat menjadikan seseorang berstatus tanpa negara atau stateless. Karena Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal, hal ini dapat berakibat pada hilangnya perlindungan terhadap hak asasi seseorang. Kedua hukuman ini juga mengkhianati pendekatan deradikalisasi yang dibangun dalam UU Terorisme.
Keempat, Harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme. Dalam konteks perlindungan anak, maka dalam hal anak pelaku kejahatan terorganisir, harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan, bukan serta merta sebagai pelaku. Pemenjaraan bertentangan dengan prinsip kepentingan terbaik untuk anak (seluruh pendekatan dalam UU Terorisme adalah pemenjaraan). Anak harus sedapat mungkin dijauhkan dari peradilan pidana dengan sanksi pidana (pencabutan kewarganegaraan). Untuk Anak, program deradikalisasi harus diutamakan, sekalipun anak melakukan pidana, dan tidak ditempatkan dalam penjara karena berpotensi menjadikan Anak lebih terjerumus dalam ideologi yang dibangun teroris.
Kelima, ICJR meminta DPR untuk mengavaluasi ulang seluruh rumusan delik yang ada dalam RUU Terorisme. Ada banyak delik yang diatur sangat luas tanpa maksud dan batasan yang jelas. Contohnya Pasal 13A yang mengatur penyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan. Pasal ini bersifat tidak jelas karena akan sangat berbahaya memberikan kewenangan untuk menafsirkan sikap atau perilaku dan tampilan kepada penyidik. Disisi lain dari temuan ICJR, pengaturan yang demikian akan menyasar salah satu ekspresi yang dicap sebagai “gambaran” teroris. Untuk itu ICJR meminta DPR untuk menyisir ulang pasal-pasal seperti ini dalam RUU Terorisme agar pengaturannya tidak menjadi pasal karet.
Keenam, Minim penguatan hak korban. Catatan penting ICJR dalam RUU Terorisme ini adalah dilupakannya pengaturan mengenai hak korban. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan hak korban ini, diantaranya belum diaturnya pengertian Korban yanglebih koprehensif, sesuai dengan ketentuan internasional yang mencakup sampai dengan korban potensial. Selanjutnya belum dicantumkannya juga gak korban secara spesifik dalam UU Terorisme, meskipun sudah ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, namun pencantuman hak lain yang lebih spesifik untuk korban terorisme masih dibutuhkan.
Hal lain, tidak ada pencantuman hak khusus mengenai bantuan medis yang bersifat segera kedaruratan. Kedaruratan medis terkait korban terorisme masih belum secara eksplisit disebutkan yang berakibat pada sering tertundanya pelayanan bagi korban terorisme karena tingkat kedaruratannya tidak mengikat secara hukum. ICJR juga mencatat bahwa proses pemberian Kompensasi juga sulit diberikan, karena pemberian Kompensasi bergantung pada putusan pengadilan yang diletakkan dalam proses peradilan pidana. Masalahnya angka extra judicial killing sangat tinggi, dari data ICJR yang sementara ini dapat ditelusuri, terdapat 32 korban extra judicial killing yang diduga adalah pelaku terorisme. Dengan bergantung pada putusan hakim maka komnpensasi sulit diberikan karena pelaku tidak sempat diadili. Belum lagi tidak semua nama dapat dicantumkan dalam putusan hakim dan tuntutan jaksa, terlebih apabila haurs menunggu putusan berkekuatan hukum tetap yang sangat lama.
Selanjutnya adalah korban dari kesalahan prosedur dari aparat penegak hukum. Tidak ada pengaturan rehabilitasi yang memadai dalam hal korban adalah korban kesalahan prosedur dari aparat penegak hukum. Rehabilitasi dan ganti rugi dari negara disematkan pada putusan hakim dalam hal Lepas/Bebas, sehingga apabila terjadi kesalahan prosedur sebelum persidangan atau setelah persidangan namun putusannya tidak lepas/bebas, maka tidak ada rehabilitasi dan ganti rugi.
Atas dasar itu, berikut rekomendasi dari ICJR terkait RUU Terorisme :
Pertama, Harus dievaluasi ulang seluruh ketentuan mengenai Upaya Paksa. Seluruh ketentuan harus disesuaikan dengan prinsip fair trial dan perlindungan hak asasi manusia.
Kedua, harus dievaluasi ulang seluruh ketentuan Pemidanaan termasuk Hukuman Mati dan Pencabutan Kewarganegaraan, karena selain tidak efektif dan menghianati pendekatan deradikalisasi, juga dapat menjadi akar dari inspirasi dan balas dendam yang lebih hebat.
Ketiga, mengevaluasi pengaturan delik yang bersifat karet, tidak jelas dan tidak ada batasan yang jelas, supaya tidak multitafsir dan menimbulkan masalah baru.
Keempat, memperkuat perlindungan Anak pelaku tindak pidana Terorisme, menghilangkan pendekatan pemenjaraan, mengedepankan deradikalisasi dan kepentingan terbaik untuk Anak.
Kelima, Memperkuat pengaturan Hak Korban, baik korban tindak pidana terorisme dan korban kesalahan prosedur aparat penegak hukum.