JAKARTA, GRESNEWS.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang artinya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tidak lagi dibatasi hanya satu kali mengguncang dunia hukum. Perbedaan pendapat masih mencuat dan harus segera diselesaikan dan diperjelas maksud PK boleh dari sekali itu. Apakah cukup dua kali atau boleh diajukan tanpa batas demi keadilan.
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh mantan ketua KPK Antasari Azhar. MK mendasarkan pertimbangannya pada keadilan, perlindungan HAM dan hakikat KUHAP yang bertujuan untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara.
Atas putusan MK tersebut Hakim Agung Gayus Lumbun meminta agar DPR, pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) menyikapi hal ini dengan tegas. Sebab putusan PK tanpa batas dapat disalahgunakan. Misalnya disalahgunakan untuk menunda eksekusi terpidana, khususnya hukuman mati terhadap terpidana narkotika, terorisme, korupsi dan sebagainya.
“Oleh karena itu diperlukan sikap MA untuk memastikan dengan sikap tegas dan segera dengan instrumen apa menghadapi hal tersebut,” ujar Gayus, Kamis (13/3).
Di antaranya yaitu dengan menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) karena pengaturan PK di Perma sebelumnya sudah tidak sesuai lagi digunakan karena pasal 268 pasal 3 KUHAP telah dicabut oleh MK. Menurut Gayus, usulan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) juga tidak tepat karena negara tidak genting sedangkan penerbitan PP tidak diamanatkan olah KUHAP.
“Oleh karena itu diharapkan dengan segera menerbitkan aturan baru untuk mengisi aturan tersebut sambil menunggu revisi KUHAP,” ujarnya.
Berbeda dengan Gayus, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, berpikir sebaliknya. Menurutnya, PK sebagai upaya yang benar-benar luar biasa perlu diadakan tanpa batas waktu.
“Peraturan MA atau SEMA hanya memperketat, jangan membatasi. Baik sekali, dua kali atau berapa pun,” ujar Mudzakir.
Meski demikian, Mudzakir memiliki catatan. Yaitu aturan pengetatan PK nantinya bisa membatasi PK yang diajukan dengan alasan kekhilafan hakim/kesalahan penerapan hukum maksimal proses PK bisa 2 kali. Sedangkan jika ada novum, maka sampai kapan pun tidak bisa dibatasi.
“Adapun yang mengadili PK atas PK, haruslah hakim agung yang benar-benar maha agung. Jika perlu majelisnya nanti 7 orang hakim yang maha agung itu,” kata Mudzakir.
Sebelumnya Komisi Yudisial (KY) meminta MA untuk membuat peraturan tentang pengetatan pengajuan upaya PK. Jadi MA bisa bikin peraturan baru ini berdasarkan putusan MK. “Jadi jangan ditutup PK nya cuma harus diperketat,” ujar Komisioner KY, Taufiqurrahman Sahuri, Rabu (12/3).
Menurut Taufik, salah satu pengetatan yang harus dilakukan adalah mengenai syarat pengajuan PK. Dengan demikian, terpidana tidak bisa membuang waktu atau memanfaatkan putusan MK ini untuk mempermainkan proses hukumnya.
Taufik juga menganggap putusan MK tersebut sudah lazim diwarnai pro dan kontra. KY beranggapan dengan adanya PK berkali bisa diambil sisi positifnya. Salah satunya adalah, kasus Sudjiono Timan, koruptor Rp 1,2 triliun yang dilepas MA.
Sedangkan sisi negatifnya, PK tersebut bisa menunda-nunda proses eksekusi mati bagi terpidana yang divonis hukuman mati. “Seperti kasus Sudjiono Timan, kan jaksa boleh ajukan PK lagi,” ujarnya.
Bagi Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal justice Reform (ICJR), putusan yang mendasarkan atas perlindungan HAM ini sangat berarti bagi warga negara Indonesia, khususnya bagi korban yang mengalami peradilan sesat. PK lahir karena sistem peradilan pidana yang melahirkan peradilan sesat.
Namun dirinya tetap meyakini bahwa perlu langkah-langkah khusus untuk mengantisipasi implikasi PK yang tidak dibatasi ini, walaupun jumlah PK yang selama ini masuk ke MA berbanding jauh dengan jumlah kasasi yang lebih mendominasi, namun dengan kepadatan permohonan yang ada saat ini, MA sudah kelebihan beban, sehingga berapapun jumlah kenaikan perkara pasti berpengaruh pada MA.
Ia mengingatkan bahwa potensi kenaikan jumlah perkara akibat putusan MK harus segera diantisipasi serius oleh MA. Namun sikap membatasi PK, dengan menolak permohonan pencari keadilan bukanlah jalan yang dapat ditempuh oleh MA, oleh karena itu maka manejemen perkaralah yang menjadi PR yang harus diselesaikan MA apabila tidak ingin dianggap tidak berpihak pada keadilan dan perlindungan HAM.
Dalam konteks PK maka defenisi novum haruslah di sepakati secara konsisten sesuai dengan prinsip prinsip hukum pidana maupun doktrin yang berlaku, jangan sampai hal apapun dapat dimaknai sebagai novum.
Lebih mendasar, Supriyadi menjelaskan akar sesungguhnya dari permasalahan potensi banyaknya jumlah peninjauan kembali adalah karena potensi terjadinya peradilan sesat dan minimnya pengawasan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, inilah sebenarnya yang menjadi salah satu akar timbulnya novum yang muncul justru di akhir perkara pidana.
Pendekatan crime control model terlalu menonjol dalam penegakan hukum pidana sehingga pengawasan atas langkah-langkah upaya paksa kurang memadai. Salah satu implikasinya adalah banyak problem dalam pengumpulan alat bukti.
Selama ini, berdasarkan dua riset terakhir ICJR mengenai pengawasan upaya paksa khususnya di tingkat penyidikan dan penuntutan, tindakan dari aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum memang minim pengawasan karena diskresi penyidik dan penuntut yang terlalu besar. Sebab lembaga pengawasan dan kontrol horizontal terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum seperti Praperadian benar-benar gagal total dalam KUHAP. Akibatnya maka potensi novum novum akan kerap muncul di akhir peradilan.
Menurutnya dalam konsep sistem peradilan pidana yang terpadu mestinya dengan prinsip fair trial dan profesionalisme kerja aparat penegak hukum peradilan pidana dapat berjalan dengan tetap menjunjung tinggi penghormatan pada HAM. Ia menekankan bahwa pengawasan dan kontrol pada aparat penegak hukum menjadi mutlak, agar tercipta peradilan sehat yang tidak menimbulkan ketidak adilan dan mendorong lahirnya novum sehingga MA terbeban dengan PK yang terjadi berulang-ulang. (dtc)
Redaktur : Muhammad Fasabeni
Sumber : http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=1230133-ini-penyelesaian-putusan-mk-soal-pk