Sakit. Pilu. Sesak.
Tiga kata di atas mungkin dapat menggambarkan apa yang dirasakan korban kekerasan seksual. Berjuang sendirian untuk bangkit dan pulih bukanlah hal mudah. Berteriak tanpa suara, berharap pada pertolongan dan tegaknya keadilan. Pada tahun 2023, lebih dari 13 ribu korban butuh untuk pulih, tapi nyatanya tidak semua mendapat akses pemulihan. Demi keluar dari jurang penderitaan, korban membutuhkan dana untuk membiayai pemulihannya.
Sayangnya, agar sampai di titik terpulihkan, korban harus menghadapi perjalanan yang panjang. Korban perlu mengajukan permohonan ganti kerugian atau restitusi ke pengadilan hingga keluar putusan atau penetapan restitusi sebagai landasan pelaku untuk membayar ganti rugi. Namun realitasnya, rerata restitusi yang dibayarkan pelaku pada 2023 hanya sekitar 2% dari total restitusi yang dimohonkan. Ketidakmampuan pelaku dalam membayar restitusi juga tidak dijawab secara solutif terkait bagaimana nasib dari sejumlah restitusi yang seharusnya kembali kepada korban.
Secercah harapan hadir ketika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur kebaruan tentang Dana Bantuan Korban. Di sinilah negara harus hadir untuk mengalokasikan dana khusus bagi korban. Kewajiban anggaran negara untuk Dana Bantuan Korban secara eksplisit dijabarkan sebagai sumber pendanaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 35 UU TPKS. Mengingat korban sebagai pihak terdampak yang diproses dalam kerangka sistem peradilan pidana, maka Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Penegakan Hukum kiranya dapat menjadi opsi untuk dialokasikan kepada Dana Bantuan Korban. Peluang ini penting untuk dikaji dan didorong bersama sebagai masukan terhadap pemerintah.
Pemulihan korban harus diutamakan, komitmen negara harus ditegaskan. Lalu, bagaimana anggaran negara bisa berkontribusi untuk korban?