ICJR mencermati bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak diterapkan secara tepat dalam kasus penghinaan yang dituduhkan kepada Ahmad Dhani. Kasus ini menambah riwayat panjang penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang memang bersumber pada pengaturan regulasi yang sangat buruk. Kondisi ini membuka peluang kuat menjadikan penegakan hukum pidana sebagai alat pengekang kebebasan berkeskpresi. ICJR mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU ITE untuk mencabut pasal-pasal yang bermasalah.
Sidang kasus UU ITE yang menjerat Ahmad Dhani telah mencapai tahap pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Surabaya. Pada Selasa 11 Juni 2019, Majelis Hakim menyatakan bahwa Ahmad Dhani terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh jaksa penuntut umum yakni mendistribusikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai bahwa Ahmad Dhani telah mentransmisikan konten penghinaan dengan adanya penyebutan kata “idiot” sehingga membuat orang lain tersinggung. Selain itu, hakim juga meyakini bahwa ucapan “idiot” dalam vlog Ahmad Dhani sengaja ditujukan kepada ratusan orang anggota Koalisi Elemen Bela NKRI yang pada 26 Agustus 2018 lalu mengepung Hotel Majapahit tempatnya menginap.
Namun, ICJR memandang penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam kasus Ahmad Dhani tersebut tidak selaras dengan prinsip-prinsip dasar hukum pidana dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut yang menekankan pentingnya penyebutan nama korban dalam pernyataan yang dituduh sebagai ungkapan penghinaan. Hal tersebut ditemukan setidaknya pada tiga putusan pengadilan tingkat pertama yang mengandung pertimbangan cukup baik untuk dijadikan pembelajaran dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yakni, Putusan PN Bantul No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL atas nama terdakwa Ervani Emy Handayani dan Putusan PN Raba Bima No. 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi atas nama terdakwa Ir. Khairudin M. Ali, M.Ap., dan Putusan PN Makassar No. 1939/Pid.Sus/2016/PN.Mks atas nama terdakwa Yusniar. Dalam putusan tersebut, penyebutan nama menjadi syarat mutlak, sebab pasal pencemaran nama baik ditujukan untuk menyerang martabat seseorang.
Kedua, sejalan dengan poin di atas, maka penghinaan yang dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk ditujukan kepada subyek hukum yaitu orang perseorangan, bukan kelompok atau golongan. Namun dalam kasus Ahmad Dhani dapat diketahui bahwa yang ditentukan sebagai sasaran penghinaan adalah sekelompok orang yakni ratusan orang anggota Koalisi Elemen Bela NKRI. Dengan demikian, penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam kasus Ahmad Dhani ini tidaklah tepat.
Ketiga, Pasal 27 ayat (3) UU ITE haruslah dilekatkan hanya pada Pasal 310 jo. 311 KUHP tentang Pencemaran nama baik dan fitnah. Pada pasal 310 jo. 311 KUHP, penghinaan harus berbentuk tuduhan. Ahmad Dhani dipidana karena melontarkan kata kata “idiot”. Kata “idiot”, bukan merupakan tuduhan tapi penghinaan ringan, penghinaan ringan sendiri diatur dalam pasal 315 KUHP yang bukan merupakan bagian dari delik pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sehingga pada Ahmad Dhani, pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 310 jo. 311 KUHP tidak bias diterapkan.
Keempat, pun terhadap Ahmad Dhani tetap dilakukan proses penegakan hukum menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Majelis Hakim agaknya juga perlu mempertimbangkan alasan penghapus pidana. Hal ini pernah ditemukan dalam pertimbangan Putusan PN Bantul No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL atas nama terdakwa Ervani Emy Handayani. Majelis Hakim membebaskan terdakwa dengan mempertimbangkan adanya “emosi dalam menyampaikan keluh kesah dan kritiknya kemungkinan akan menyinggung orang lain” sebagai alasan penghapus pidana.
Harus dipertimbangkan, dalam konteks kasus Ahmad Dhani, ia menyebut kata “idiot” kepada sekelompok orang yang menolak deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya. Sehingga terdapat kemungkinan ia sedang diliputi emosi setelah mengalami penolakan tersebut sehingga berakibat melontarkan kata-kata yang dapat menyinggung orang lain. Poin lainnya adalah kemungkinaan Ahmad Dhani melontarkan kata-kata tersebut sebagai bagian membela diri sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP, disebutkan “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Berdasarkan catatan-catatan diatas, ICJR kemudian merekomendasikan agar upaya untuk menghentikan dampak dari penerapan pasal karet UU ITE yang berpotensi menjadikan penegakan hukum pidana sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi harus segera dilakukan. ICJR kembali mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menginisiasi proses revisi UU ITE yang mana salah satu agenda utamanya adalah untuk menghilangkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selain karena alasan multitafsir yang berakibat pada tidak adanya kepastian hukum, delik-delik penghinaan dan pencemaran nama baik juga telah diakomodir melalui ketentuan dalam KUHP sehingga dengan adanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut timbul duplikasi pengaturan.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan