Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan apresiasi atas putusan bebas yang dijatuhkan oleh PN Tanjung Karang terhadap Syamsul Arifin pada 14 Desember 2020. Menurut Majelis Hakim, Syamsul Arifin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama (Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang Penghinaan), atau dakwaan alternatif kedua (Pasal 310 ayat (2) KUHP tentang Pencemaran dengan Tulisan), maupun dakwaan alternatif ketiga (Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan) yang frasa “perbuatan tidak menyenangkan” bahkan sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. ICJR juga telah mengirimkan AMicus Curiae pada kasus ini, ICJR memberikan perhatian khusus karena kasus ini menunjukkan buruknya penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini bermula pada 2013 yang lalu, Syamsul Arifin dilaporkan oleh Napoli Situmorang ke Polda Lampung dengan tuduhan bahwa Syamsul Arifin telah melakukan penghinaan/pencemaran nama baik atas ketidakpahaman Pelapor terkait AD-ART Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI). Meskipun ancaman pidana pasal penghinaan UU ITE kurang dari 5 tahun dan kasusnya sudah melewati masa daluwarsa penuntutan karena sudah lebih dari 7 tahun yang lalu, namun Syamsul Arifin tetap ditahan dan telah mendekam selama 83 hari di Rutan Polda Lampung. Untuk itu, ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) pada 30 November 2020.
ICJR memandang kasus ini dipaksakan untuk dilanjutkan proses hukumnya. Selain itu, proses pidana pada kasus-kasus penghinaan dengan UU ITE cenderung memberikan iklim buruk dan traumatis akan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, sehingga putusan bebas dari hakim tersebut patut untuk diapresiasi. Sisi lain dari putusan bebas ini harus menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum yang gagal memahami hukum yang harus mereka tegakkan.
Penyidik tidak memahami bahwa dengan pasal-pasal yang digunakan, Syamsul Arifin sama sekali tidak dapat ditahan, kesalahan ini justru diulangi oleh penuntut umum. Penuntut Umum juga tidak paham tentang masa daluwarsa kasus, malah tetap menuntut Syamsul Arifin. Dari segi alat bukti yang dihadirkan, prinsip dan prosedural penanganan awal barang bukti elektronik di tempat kejadian perkara dan fakta yang dihadirkan dalam persidangan, bukti elektronik dalam perkara tidak dilakukan berdasarkan tahapan dan prosedur pemeriksaan bukti elektronik (digital evidence) yang semestinya. Penuntut Umum sama sekali tidak memperhatikan pentingnya validitas bukti yang dihadirkan, tidak hanya menerima begitu saja dari penyidik. Terlebih lagi, masalah mendasar di atas, karena sudah dalam jangka waktu 7 tahun dan handphone Terdakwa pun tidak masuk dalam daftar barang bukti, maka barang bukti elektronik hasil cetak SMS tidak layak menjadi alat bukti yang sah di pengadilan yang dihadirkan penuntut umum.
Aparat Penegak Hukum harus diperingatkan berulang kali untuk lebih berhati-hati dalam memproses suatu kasus, apakah perlu untuk diajukan proses hukumnya, terlebih lagi kasus-kasus yang berpotensi melanggar hak asasi warga negara dengan pasal karet yang bermasalah dan telah menjerat banyak korban yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang rentan dijadikan alat pembungkaman berpendapat dan berekspresi.
Amicus Curiae ICJR untuk kasus ini silakan unduh di sini
Jakarta 15 Desember 2020
Hormat kami,
ICJR