Kebijakan moratorium atau pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM telah menjadi kontroversi di antara pemerintah dan para anggota parlemen. Kebijakan ini secara khusus dikeluarkan oleh pemerintah memang ditujukan untuk narapidana kasus – kasus tertentu yaitu Korupsi, Terorisme, dan Narkotika. Terlepas dari motif yang melatar belakangi pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tersebut namun penting untuk melihat irisan kebijakan yang tentunya akan terkait dengan perlindungan hak asasi manusia.
Paper yang dibuat oleh Wahyu Wagiman ini berusaha menyajikan secara ringkas namun utuh dampak dari kebijakan tersebut terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan secara lebih luas juga melihat dampaknya terhadap filosofi pemasyarakatan atau “correction” terhadap kebijakan pemidanaan di Indonesia.
Secara filosofis, seperti yang dinyatakan oleh Sahardjo bahwa bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, (juga ditujukan untuk) membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Secara singkat tujuan ini disebutnya sebagai Pemasyarakatan. Oleh karena itu kebijakan Pemasyarakatan yang dikembangkan ini memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hak-hak terpidana. Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Komitmen ini dipertegas dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
ICJR menekankan serta mendorong untuk terciptanya mekanisme dan indikator pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dengan lebih terbuka serta terukur dengan baik sehingga selain melindungi serta memberikan jaminan kepastian hukum bagi hak – hak narapidana namun juga memberikan rasa keadilan bagi anggota masyarakat Indonesia lainnya. Tanpa rumusan indikator dan keterbukaan serta akuntabilitas pada proses pemberian remisi dan pembebasan bersyarakat yang diatur pada level UU maka kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat akan tergantung pada kehendak dan kuasa pemerintah yang secara umum memiliki potensi besar untuk mengurangi jaminan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia dan mencederai perasaan keadilan
Silahkan unduh disini