Dukungan dan Fasilitas Keamanan dan hak Imunitas sebaiknya di berikan kepada Saksi korban bukan kepada anggota LPSK
Sejak Rapat Kerja tertanggal 26 Agustus 2014, DPR telah menyerahkan DIM jawaban fraksi-fraksi atas RUU Perubahan Atas UU No. 13/2006 kepada Pemerintah sekaligus membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Pada 28 s/d 30 Agustus 2014 dan 4 s/d 6 September, Panja telah melakukan dua kali konsinyering RUU Perubahan Atas UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sesuai dengan rencananya, Komisi III DPR RI berinisiatif untuk menyelesaikan RUU tersebut sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir pada 30 September 2014).
Berdasarkan dokumen pembahasan dan hasil monitoring, Koalisi Perlindungan Saksi menilai bahwa hasil pembahasan RUU antara Panja Komisi III DPR dengan Pemerintah justru berpotensi melemahkan subtansi perlindungan saksi dan korban. Hasil pembahasan juga cenderung mengabaikan kebutuhan nyata saksi, korban, pelapor dan Justice Collaborator (JC) di tataran yang lebih ideal. Lemahnya substansi pembahasan tersebut dapat di lihat dari hasil pembahasan hal di bawah ini:
- Lemahnya definisi korban kejahatan; pengertian korban masih bersifat perorangan, belum mengakomodir korban yang secara sifatnya berbentuk sekelompok korban. Secara khsusus hasil pembahasan tersebut juga belum mengakomodir korban kejahatan seksual sebagai bagian penting dari hak saksi dan korban
- Sempitnya Definisi Whistleblower atau Pelapor; laporan whistleblower hanya hanya terbatas ke penegak hukum, dan tidak masuk ke pelaporan ke lembaga negara lainnya.
- Definisi Juctice Collaborator (JC) yang lemah; JC diartikan secara terbatas dalam mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama/berkaitan.
- Cakupan Kompensasi yang terbatas; dimana kompensasi hanya diberikan terhadap korban pelanggaran HAM berat dan terorisme
- Cakupan Bantuan korban (medis psikologis) yang terbatas; Bantuan Medis dan Psikologis terhadap Korban hanya dibatasi diberikan pada korban pelanggaran ham berat dan terorisme
- Lemahnya perlindungan dan reward bagi Juctice collaborator di Pasal 10A ayat (3)
- Dihapuskannya reward khusus “dapat dilepaskan dari tuntutan” bagi Juctice collaborator. Reward hanya terbatas pada memberikan keringanan hukuman kepada JC.
Di samping itu Koalisi juga mempertanyakan mengenai fasilitas-fasilitas khusus yang di berikan kepada anggota LPSK yakni fasilitas pengamanan dan hak imunitas atau perlindungan hukum atas tuntutan dan gugatan karena melaksanakan tugas. Koalisi menilai “DPR dan Pemerintah terlalu berlebihan” dalam memberikan hak-hak tersebut kepada anggota LPSK.
Bagi Koalisi, tidak ada satupun lembaga Negara terutama anggotanya termasuk Presiden RI yang diberikan hak imunitas yang tidak dapat digugat secara perdata. Koalisi memandang, bahwa setiap pejabat Negara atau pejabat public seharunya dapat/boleh digugat secara perdata, apalagi jika ternyata anggota maupun lembaganya dalam melaksanakan kewenangan justru melakukan abuse of power atau perbuatan melawan hukum.
Koalisi merekomendasikan fasilitas keamanan dan hak imunitas bagi anggota LPSK agar dialihkan kepada saksi dan korban. Hak imunitas dan fasilitas keamanan bagi saksi dan korban ini justru yang belum terlihat dari hasil pembahasan DPR dan Pemerintah
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban