Pada prinsipnya, segala bentuk tindakan atau upaya paksa yang mencabut atau membatasi kebebasan merupakan tindakan yang dilarang dalam konstruksi perlindungan terhadap hak asasi seseorang. Namun dalam kondisi tertentu negara memiliki kemungkinan untuk membatasi kebebasan seseorang dalam kerangka penegakan hukum. Atas nama penegakan hukum,negara melalui aparaturnya diberikan kewenanganuntuk membatasi kebebasan dan kebebasan bergerak seseorang melalui tindakan penangkapan, penahanan atau beberapa tindakan lain yang populer disebut dengan istilah ‘upaya paksa’.
Upaya paksa selalu menghadirkan dua sisi yang berseberangan, terutama dalam hal penangkapan dan penahanan. Di satu sisi, hak-hak dasar seseorang harus dijamin keberadaannya, tapi di sisi lain, negara justru memiliki kewenangan “melanggar” hak dasar setiap orang tersebut. Maka yang kemudian harus paling ditegaskan adalah bagaimana penangkapan itu dilakukan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan hukum yang berlaku,tidak melampaui kewenangannya, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam konteks penegakan hukum, pelaksanaan upaya paksa itu harus pula diletakkan pada prinsip‘demi untuk kepentingan pemeriksaan’ dan benar-benar ‘sangat diperlukan’.
Rancangan KUHAP telah mencoba mengatur ulang penangkapan, namun jika menilik pada standar internasional mengenai hak asasi manusia, aturan tersebut masih belum memadai. Perubahan mendasar dalam Rancangan KUHAP hanya berkisar mengenai jangka waktu penangkapan dan jangka waktu pemberitahuan tentang penangkapan, selebihnya tidak banyak berbeda dengan KUHAP yang masih berlaku.
Oleh karena itu tulisan ini lebih jauh ingin melihat sejauh mana kompabilitas pengaturan penangkapan dalam KUHAP dengan standar HAM agar hukum acara yang sedang akan dibahas di DPR ini dapat menerapkan standar perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik.
Silahkah unduh disini