Setelah dinyatakan ditunda pengesahannya pada 2019, Pemerintah kembali melakukan pembahasan terhadap RKUHP. Sebagaimana diketahui, sebelumnya RKUHP ditunda dikarenakan adanya kritik yang besar dari masyarakat mengenai beberapa isu di dalamnya, salah satunya adalah berkaitan dengan ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur di dalam Pasal 2 RKUHP versi draft September 2019 yang berbunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Ketentuan ini kemudian dielaborasi di dalam Pasal 597 yang menyatakan bahwa
(1) Setiap Orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
Dalam perjalanan pembahasan, Tim Perumus menyampaikan bahwa Pasal ini dimunculkan dengan dasar pemikiran untuk dapat mengakomodasi ketentuan hukum pidana adat yang masih digunakan di beberapa daerah di Indonesia. Penjelasan Pasal 2 pun menyampaikan bahwa pasal ini keberadaannya digunakan sebagai dasar hukum berlakunya hukum pidana adat yang masih berkembang dan berlaku di dalam masyarakat. Lebih lanjut, ketentuan ini dihadirkan untuk memunculkan “kekhasan” dari RKUHP Indonesia yang tidak tunduk pada kekakuan dari asas legalitas warisan kolonial.
Keberadaan pasal ini memunculkan banyak pertanyaan yang hingga akhir pembahasan tidak pernah dapat diberikan kejelasan oleh Tim Perumus. Bahkan, dalam pembahasan terakhir Tim Perumus menyatakan setelah RKUHP disahkan, maka barulah penelitian mengenai delik adat sendiri akan dilakukan pada masa transisi. Draft terakhir hanya memberikan penjelasan bahwa nantinya akan ada Peraturan Daerah yang mengompilasi seluruh delik adat yang ada di daerahnya masing-masing.
Jika delik-delik adat terkompilasi menjadi Peraturan Daerah maka pertanyaan yang mengemuka adalah mengenai siapa yang kemudian akan berhak menyelesaikan perkara yang bersinggungan dengan adat. Selain itu, konsep living law juga belum menjelaskan seberapa luas cakupan ketentuan yang boleh dipidana dan daerah mana saja yang diakui hukumnya masih “hidup”, tidak pernah menemukan jawabannya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan abuse of power dari elit daerah, jika living law disahkan tanpa ada penelitian sebelumnya.
Meskipun pasal ini termasuk ke dalam pasal-pasal krusial yang didorong kembali pembahasannya oleh masyarakat sipil namun sayangnya, dalam rapat terakhir yang dilakukan Pemerintah pada Maret 2020 ternyata tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai pasal ini. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat masalah-masalah yang mungkin saja timbul dari disahkannya pasal ini.
Diserahkannya kodifikasi perbuatan apa saja yang dapat dipidana menurut pasal hukum yang hidup dalam masyarakat tentu saja akan menimbulkan akibat yang jika tidak dipikirkan penanggulangannya sejak awal akan berbahaya bagi masyarakat, utamanya kelompok rentan. Tidak adanya kejelasan mengenai cakupan dari “hukum yang hidup dalam masyarakat” dan siapa yang berhak menentukan jenis perbuatan apa saja yang termasuk di dalamnya, memunculkan adanya kemungkinan perbuatan-perbuatan yang melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok rentan. Pasalnya, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan sejak 2009 hingga 2018 saja, telah dicatat terdapat 235 Perda yang kontennya diskriminatif terhadap perempuan. Beberapa hal yang diatur didalamnya Perda tersebut antara lain adalah mengenai tata cara berpakaian, jam malam untuk perempuan, dan juga prostitusi.
Ketakutan yang timbul, ketentuan living law ini justru melegitimasi ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam Perda. Mengingat, hukum adat pun dalam perkembangannya masih terus menyesuaikan diri dan menerima adanya nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Meskipun secara teori seharusnya Peraturan Daerah disusun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi seperti Undang-Undang, namun kenyataannya, ketentuan-ketentuan yang diskriminatif tersebut terus saja bermunculan di daerah dan seringkali ketentuan tersebut dianggap normal keberadaannya karena adanya stigma tertentu yang telah berkembang dan mengakar di dalam masyarakat. Dengan diberikannya ruang bagi Perda untuk dapat mengatur perbuatan yang dianggap tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui ketentuan Living Law dalam RKUHP, praktik-praktik diskriminasi akan menjadi lebih sulit dibendung. Carut-marut substansi Perda tersebut, tentu saja menambah pelik masalah pelaksanaan hukum yang hidup dalam masyarakat yang kemudian menggantungkan keberlakuannya pada Perda masing-masing daerah.
Tidak hanya itu, keputusan untuk mengatur perbuatan pidana yang dimaksud oleh Pasal 597 di dalam Perda masing-masing daerah, tentu sangat bertentangan dengan tujuan utama dari perumusan RKUHP yang selama ini digaungkan oleh Pemerintah dan DPR: kodifikasi hukum. Jika pasal mengenai living law ini disahkan, maka setidaknya ada 548 KUHP lokal yang akan muncul dan berlaku.
Maka dari itu, berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas aliansi PEKAD mendorong Pemerintah dan DPR untuk menghapus ketentuan hukum yang hidup dari dalam RKUHP. Dengan masih banyaknya ketidakpastian dan ketidakjelasan terhadap pemberlakuan pasal ini serta ketidakyakinan dari Perumus, maka lebih baik jika ketentuan ini tidak dimunculkan dahulu daripada harus memakan lebih banyak korban dalam pelaksanaannya ke depan.
Unduh materi diskusi PEKAD #5 disini
Video diskusi PEKAD #5 dapat ditonton disini
—
Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19)
PKBI, Pamflet Generasi, ICJR, ASV, Arus Pelangi, SEJUK, PurpleCode Collective, LBH Masyarakat, SGRC