Pada 24 September 2001, Indonesia turut serta menandatangani Protokol Opsional mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (yang selanjutnya disebut Protokol Opsional). Protokol Opsional merupakan instrument yang melarang bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak meliputi perdagangan anak, pelacuran anak dan pornografi anak. Meskipun pemerintah Indonesia telah menandatangani Protokol Opsional, perlu jeda 11 tahun bagi Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi protokol opsional tersebut melalui UndangUndang No.12 tahun 2012. Indonesia menjadi negara ke 148 yang meratifikasi protokol opsional tersebut.
Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya protokol opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, Pemerintah Indonesia harus segera mentransformasikan dan mengharmonisasi protokol opsional ini pada peraturan perundang-undangan nasional, khususnya untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelaku, rehabilitasi terhadap korban, terhadap kasus penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak di Indonesia. Sejak tahun 2012-2017 Pemerintah terlihat lamban untuk mengimplementasikan Protokol tersebut, berbagai kendala dan tantangan ditemukan:
No | Tugas | Beberapa Kendala
|
1 | Kriminalisasi perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak; | Kriminalisasi bagi prostitusi anak minim, regulasi yang ada terbatas
|
2 | mengambil langkah-langkah untuk menetapkan perampasan dan penyitaan benda, harta kekayaan, dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana serta mencabut izin baik sementara maupun permanen terhadap
tempat usaha yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan hukum nasional; |
Perampasan aset kejahatan terkait kasus perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak belum ditemukan |
3 | mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban, termasuk dengan mengakui kebutuhan khususnya, mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pendapatnya, memberikan dukungan yang diperlukan selama dalam proses hukum, dan membebaskan dari segala bentuk ancaman dan balas dendam | layanan korban masih kurang memadai- Jumlah korban belum tercatat resmi secara nasional, data masih terpilah-pilah. data terkait jumlah korban terkait Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak ini tidak pernah dibuat oleh pemerintah
LPSK cenderung melakukan perlindungan terhadap kasus yang sedang menjadi perhatian publik. Sedangkan kasus-kasus yang tidak menjadi perhatian publik, LPSK tidak berupaya maksimal dalam memberikan perlindungan. Berdasarkan hasil National Advocacy Meeting, ECPAT Indonesia juga menemukan bahwa pihak LPSK pernah juga menemukan intimidasi terhadap korban turut terjadi pada ranah penanganan. Misalnya saja, dilakukan oleh penguasapenguasa daerah setempat.
Di dalam proses penegakan hukum, khususnya di kepolisian, Korban Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak, ditangani oleh unit-unit kepolisian yang berbeda. ECPAT Indonesia menemukan terdapat oknum-oknum di penegak hukum yang juga melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak yang menjadi korban prostitusi di kepolisian
|
4 |
langkah-langkah yang memungkinkan dalam rangka menjamin tersedianya bantuan yang layak bagi korban pelanggaran, termasuk reintegrasi sosial
dan pemulihan fisik dan psikis secara penuh; meyakinkan bahwa semua anak korban pelanggaran yang diatur dalam Protokol ini tanpa diksriminasi memperoleh akses terhadap prosedur untuk memperoleh kompensasi atas kerugian dari pihak yang bertanggung jawab |
Restitusi anak korban dalam implementasinya masih penuh kendala. Tidak ada angka nasional yang mencatat proses restitusi anak korban daam 3 kejahatan ini
Mekanisme dan hak Kompensasi bagi anak korban tidak tersedia, Indonesia hanya memberlakukan kompensasi korban bagi dua kejahatan yakni : pelanggaran HAM berat dan Terorisme
Pemberian Bantuan (medis, psikologis dan psikososial) anak korban masih sedikit tercatat dan dilayani di LPSK |
Konsekuensi lain yang harus segera dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pembuatan state report kepada Komite Hak Anak PBB terkait implementasi Protokol Opsional. Dalam Protokol Opsional pasal 12 ayat 1 disebutkan : “setiap Negara Pihak harus menyerahkan, dalam waktu dua tahun setelah berlakunya Protokol ini untuk Negara Pihak tersebut, laporan kepada Komite Hak-Hak Anak yang menyediakan informasi yang komprehensif mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk implementasi ketentuan dalam Protokol.“
Sampai saat ini, enam tahun etelah meratifikasi Protokol Opsional, Pembuatan State Report tersebut tak kunjung dilakukan pemerintah Indonesia. Bahkan, berdasarkan United Nations Human Rights Office of The High Commisioner, http://tbinternet.ohchr.org/ terlihat dibandingkan negara-negara lain di AsiaTenggara, Indonesia berada pada posisi terbawah dalam hal upaya tindak lanjut setelahratifikasi Prokol opsional ini.
Institute for Criminal Justice Reform, mendorong agar pemerintah lebih serius dalam mengimplementasikan opsional protokol ini, khususnya yang terkait persoalan kriminalisasi pelacuran anak, pencatatan perkara secara nasional, pemberian perlindungan dan layanan anak korban. Termasuk juga mendorong pemerintah untuk sesegera mungkin melakukan pelaporan dan monitoring terkait implementasi Protokol Opsional. Indonesia telah telat 3 tahun mengirimkan laporan kepada Komite Hak-Hak Anak PBB