image001

Mengatur Ulang Hukum Penyadapan Indonesia

Mencuatnya perdebatan mengenai interception of communication atau yang lebih dikenal dengan penyadapan komunikasi, semakin hangat akhir-akhir ini setelah diperdengarkannya secara luas rekaman hasil penyadapan KPK di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya beberapa hasil penyadapan yang diperdengarkan dalam ruang persidangan juga mendapat perhatian yang cukup besar. Mungkin kita masih ingat dengan diperdengarkannya hasil penyadapan Antasari dengan yang diduga sebagai Anggoro di Singapura, penyadapan terhadap Al Amin Nasution dalam kasus korupsi yang dikenal dengan “skandal gadis berbaju putih”, rekaman pembicaraan Artalyta dengan beberapa aparat yang diduga dari kejaksaan Agung dalam skandal suap Artalyta Suryani-Urip Tri Gunawan. Juga kasus suap yang menimpa mantan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal. Atau dalam kasus dugaan penyadapan atas seorang Jurnalis Majalah Tempo Metta Dharmasaputra oleh polisi terkait kasus Vincent.

Penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena dianggap sebagai invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Namun penyadapan juga sangat berguna sebagai salah satu metode penyidikan, penyadapan merupakan alternatif jitu dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun kejahatan yang sangat serius, dalam hal ini, penyadapan merupakan alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan.

Banyak pelaku kasus-kasus kejahatan berat dapat dibawa ke meja hijau berkat hasil penyadapan. Tanpa instrumen penyadapan, tidaklah mungkin KPK dapat mendeteksi pelaku tindak pidana korupsi dan sekaligus mendakwanya di pengadilan. Tanpa penyadapan sulit kiranya bagi Detasemen 88 mengungkap berbagai kasus terorisme, demikian pula bagi Badan Narkotika Nasional dalam kasus psikotropika maupun narkotika.

Namun penyadapan sebagai alat pencegah dan pendeteksi kejahatan juga memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan) dan tangan yang salah (karena tiada kontrol). Penyadapan rentan disalahgunakan, lebih-lebih bila aturan hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan HAM dan semrawut.

Aturan Penyadapan di Indonesia

Di Indonesia, instrumen penyadapan sebagai sebuah kewenangan aparat hukum sebetulnya telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Pada masa Kolonial di Hindia belanda (Berdasarkan keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli 1893 N0 36) bisa dianggap sebagai peraturan tertua di Indonesia mengenai penyadapan informasi yang terbatas digunakan pada lalu lintas surat di kantor pos seluruh Indonesia (mail interception).

Dalam perkembangannya saat ini, sejumlah undang-undang, terkait kewenangan khusus aparat Negara untuk melakukan penyadapan komunikasi, telah diatur paling tidak dalam enam undang-undang yakni Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika No 35 tahun 2009, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang KPK dan Undang-Undang ITE No 11 tahun 2008.

Walaupun telah diatur dalam berbagai peraturan, kewenangan penyadapan di Indonesia sebenarnya jauh dari standar yang memadai dalam hal melindungi HAM terkait hak privasi dalam penegakan hukum. Bila dicermati pengaturan tersebut justru mendekati kesemrawutan.

Hak untuk menyadapan tidak boleh dengan gampang digunakan dengan dasar merupakan kewenangan semata dari aparat hukum. Karena pada intinya Penyadapan informasi adalah sebuah pelanggaran baik terhadap hukum dan perbuatan yang menyerang kebebasan privasi individu. Kalaupun penyadapan menjadi legal maka dasar itu pun hanya diberikan dengan sangat terbatas kepada aparat penegak hukum untuk membantu mereka dalam penyelidikan pidana. Dalam hal ini, undang-undang di Indonesia (UU telekomunikasi dan UU ITE) telah sepakat dan dengan tegas telah menyatakan bahwa penyadapan adalah sebagai tindak pidana.

Walaupun ketentuan ini hanya menjawab persoalan dalam hal penyadapan yang dilakukan antar individu, namun secara lebih rinci belum menjangkau penyadapan yang dilakukan oleh otoritas resmi negara.
Ruang lingkup penyadapan

Di berbagai negara yang telah maju dalam menggunakan kewenangan penyadapan, penyadapan  hanyalah digunakan terbatas untuk mencegah dan mendeteksi dalam hal kejahatan-kejahatan yang sangat serius dengan syarat: (1) dipergunakan karena metode investigasi kriminal lainnya telah mengalami kegagalan, atau (2) tiada cara lainnya yang dapat dgunakan selain penyadapan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan (3) harus ada alasan yang cukup kuat dan dipercaya bahwa dengan penyadapan maka bukti-bukti baru akan di temukan dan sekaligus dapat digunakan untuk mengukum pelaku pidana yang disasar.

Di samping itu di beberapa negara, penyadapan dapat juga digunakan dengan dasar  kepentingan khusus bagi keamanan negara (interest of national security), dan digunakan dalam hal menjaga  keamanan dan stabilitas ekonomi di sebuah negara.

Tren ketentuan pembatas penyadapan bagi aparatus negara di berbagai dunia juga telah demikian berkembangan. Penyadapan hanya dapat digunakan dalam kondisi dan prasyarat yang khusus misalnya:(1) adanya otoritas resmi yang jelas berdasarkan UU yang memberikan izin penyadapan (mencakup tujuan yang jelas dan objektif ) (2) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan (3) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan (4) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan dan pembatasan-pembatasan lainnya.

Hal yang terpenting adalah disediakannya mekanisme komplain bagi warga Negara yang merasa bahwa dirinya telah disadap secara ilegal yang dilakukan oleh otoritas resmi, yang diduga dilakukan tanpa prosedur yang benar dan dengan menyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan.

Pembatasan-pembatasan seperti ini diperlukan karena penyadapan berhadapan langsung dengan perlindungan hak privasi individu. Konvensi Hak Sipil Politik telah memberikan hak bagi setiap orang untuk dilindungi dari campur tangan yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dalam masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, serta serangan yang tidak sah terhadap kehormatan dan nama baiknya.

Oleh karena itu hak ini harus dijamin untuk semua campur tangan dan serangan yang berasal dari pihak berwenang negara maupun orang-orang biasa atau hukum. Dan negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif dan lainnya untuk memberikan dampak pada pelarangan terhadap campur tangan dan serangan tersebut serta perlindungan atas hak ini. Dalam paradigma inilah hukum penyadapan harus diletakkan.

Kesemrawutan Hukum Penyadapan

Di Indonesia kesemrawutan hukum penyadapan terlihat dengan banyaknya otoritas yang memberikan izin untuk penyadapan. Marilah kita lihat siapa saja yang memiliki otoritas tersebut dalam regulasi Indonesia, UU Psikotropika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri. UU Narkotika (UU No 35 tahun 2009) membolehkan Badan Narkotika Nasional (BNN ) melakukan penyadapan dengan ijin ketua pengadilan Negeri, namun dalam kondisi yang mendesak dapat pula dilakukan penyadapan tanpa izin.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua Pengadilan Negeri. UU Komisi Pemberantasan Korupsi memperbolehkan melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi berdasarkan keputusan KPK.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengizinkan penyadapan atas permintaan penyelidikan aparat hukum yang didasarkan UU. Demikian pula UU Telekomunikasi.

Hal diatas menunjukkan bahwa otoritas yang mengizinkan dilakukannya penyadapan di Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda tergantung sasarannya. Padahal umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki oleh satu otoritas saja. Ada yang menggunakan model yang izinnya diberikan oleh pemerintah (executive authorisation)  ada yang menggunakan model yang izinnya diperoleh dari pengadilan (judicial authorisation) dan model yang diizinkan oleh hakim komisaris (investigating magistrate). Indonesia justru menganutnya secara campur sari, tanpa adanya mekanisme kontrol yang pasti.

Beragamnya institusi pemberi izin inilah yang membuat setiap intitusi berebut untuk menggunakan otoritasnya. Implikasinya, tidak ada mekanisme pemantauan dan kontrol yang seragam terhadap intitusi yang melakukan penyadapan. Dan ini akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing intitusi, akibatnya HAM atas privasi yang mencakup hak privasi keluarga dan komunikasi dan korespodensi menjadi rentan dilanggar.

Di samping itu aturan mengenai jangka waktu penyadapan juga berbeda-beda. Kita lihat jangka waktu penyadapannya. Dalam UU Psikotropika izin penyadapan dilakukan dalam jangka waktu 30 hari. Dalam UU narkotika izin penyadapan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan dan dapat diperpanjang 3 bulan lagi.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan dalam jangka waktu satu tahun. UU KPK mengizinkan penyadapan tanpa dibatasi jangka waktu tertentu. Masalah jangka waktu yang berbeda ini rentan dilanggar jika tidak ada pemantauan dan kontrol dari institusi yang objektif.

Ketiadaan aturan mengenai penggunaan materi hasil penyadapan juga akan menimbulkan penyalagunaan. Pengaturan penggunaan materi hasil penyadapan ini sebenarnya mencakup berberapa hal yang pada intinya yakni: (1) adanya pembatasan orang yang dapat mengakses penyadapan dan jangka waktu penyimpanan hasil penyadapan (2) prosedur penyadapan (3) mengatur mengenai materi penyadapan yang relevan, (3) prosedur menjadikan materi penyadapan sebagai alat bukti di pengadilan (4) menghancurkan hasil penyadapan yang sudah tidak relevan demi kepentingan umum dan hak privasi warga negara.

Tiadanya aturan mengenai penggunaan materi hasil penyadapan mengakibatkan materi hasil penyadapan dapat diakses siapapun baik secara rahasia maupun publik. Dan dapat diperdengarkan atau dikutip di berbagai media tanpa melalui seleksi yang ketat. Hal inilah yang dapat Membuka penyalahgunaan materi penyadapan. Tidak adanya mekanisme menyimpan berdasarkan hukum maupun menghancuran materi rekaman dapat mengancam hak privasi bagi siapaun yang menjadi sasaran penyadapan.

Hal yang terpenting pula adalah di Indonesia tidak adanya mekanisme komplain yang disediakan secara khusus dari warga negara dan kontrol yang objektif terhadap penggunaan penyadapan atau materi penyadapan yang dilakukan tanpa prosedur, di luar kewenangan atau dilakukan dengan cara abuse of power. Tiada mekanisme ini akan menyuburkan praktek-praktek yang melanggar HAM dalam melakukan penyadapan.

Yang lebih aneh lagi, pengaturan kewenangan penyadapan di Indonesia  justru banyak berkembang dalam tataran hukum sektoral di masing-masing institusi, tentunya didasari dengan kepentingannya dan paradigma masing-masing institusi, penyusunan pengaturan tersebut juga bisa dipastikan tidak transparan dan kurang partisipasi publik.
Perlu Penataan Ulang

Kelemahan-kelemahan dalam pemberian kewenangan penyadapan oleh aparat negara seperti yang dipaparkan di atas harus sesegera mungkin dibenahi. Namun pembenahan terhadap aturan mengenai penyadapan janganlah dilakukan secara sektoral seperti yang tengah dilakukan oleh beberapa pihak saat ini. Pengaturan penyadapan harus dilakukan secara komprehensif dan dilandasi oleh semangat memperkuat perlindungan Hak Asasi Manusia dan Penegakan hukum.

Karena itu pengaturan penyadapan dalam regulasi seperti dalam peraturan internal lembaga, Permen, Peraturan Pemerintah dan lain-lain di bawah UU tak akan mampu menampung seluruh artikulasi ketentuan yang benar mengenai hukum penyadapan. Mengatur hal yang sensitif seperti halnya penyadapan haruslah diletakkan dalam kerangka undang-undang. Karena hukum yang mengatur penyadapan bagi institusi negara harus lebih ditekankan pada kewajiban dan pembatasan kewenangan aparat Negara, bukan pembatasan hak privasi individu atau warga negara Indonesia.

Supriyadi Widodo Eddyono (Advokat, Senior Researcher Associate di ICJR)

Opini ini dimuat juga dalam Primaironline

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Publikasi
  • Special Project
  • Uncategorized
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top