Menimbang Ketentuan Penyadapan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang Terorisme
Pengaturan mengenai penyadapan dalam rumusan RUU Terorisme cukup menyita perhatian. Selain karena penyadapan dipandang sebagai sarana yang cukup efektif untuk membongkar kejahatan terorisme, termasuk pencegahan dan pendeteksian kejahatan terorisme, namun juga dapat dipandang sebagai bentuk pengekangan terhadap hak pivasi warga negara oleh negara.
Oleh karena adanya potensi terlanggarnya HAM, penyadapan harus diatur secara ketat. Pengaturan soal penyadapan wajib mengandung minimal 5 hal mendasar yaitu:
(1) adanya otoritas resmi yang jelas berdasarkan UU yang memberikan izin penyadapan (mencakup tujuan yang jelas dan objektif)
(2) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan
(3) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan
(4) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan dan pembatasan-pembatasan lainnya,
(5) tersedianya mekanisme komplain yang efektif bagi warga negara yang merasa kebebasannya telah dilanggar oleh Negara.
Dalam hal penanganan kejahatan terorisme, penyadapan haruslah dipandang sebagai upaya dalam konteks penegakan hukum, bukan bagi kepentingan intelijen, sehingga prinsip-prinsip fair trial haruslah menjadi dasar dalam mekanisme penyadapan. Penyadapan dalam konteks penegakan hukum merupakan bagian dari upaya paksa guna membongkar praktik kejahatan terorisme. Sehingga hasil penyadapan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti di pengadilan.
Terdapat kekhawatiran pada awalnya dikarenakan beberapa pengaturan mengenai penyadapan dalam UU terorisme saat ini justru telah sengaja dihilangkan dalam RUU Terorisme. Mekanisme penyadapan yang dilakukan tanpa melalui izin ketua pengadilan sangat berpotensi disalahgunakan dan melanggar hak privasi warga negara.
Rumusan RUU Terorisme yang masih dibahas di DPR ini, akhirnya telah menyepakati persoalan mekanisme penyadapan. Namun dalam kajian yang dilakukan ICJR, masih ditemukan beberapa persoalan mengenai mekanisme penyadapan. Oleh karena itu, ICJR berpendapat bahwa RUU Terorisme seharusnya disesuaikan dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010 dan Rancangan KUHAP dalam rumusan mengenai penyadapan.
Unduh Disini
Artikel Terkait
- 20/05/2018 Catatan dan Rekomendasi ICJR Terhadap RUU Perubahan UU Terorisme
- 27/07/2017 Pembahasan RUU Terorisme: Penyadapan Harus Dengan Ijin Pengadilan dan Perlu Mekanisme Penyadapan Dalam Keadaan Mendesak
- 05/04/2017 “Pasal Penyadapan tanpa ijin Pengadilan” Dalam Pembahasan Panja RUU Terorisme
- 02/06/2016 ICJR Sampaikan Masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU Terorisme
- 21/02/2020 2 Peraturan Pelaksana UU Terorisme Belum Selesai, ICJR Ingatkan DPR dan Pemerintah Untuk Segera Menyelesaikannya!
Related Articles
Kerangka Hukum tentang Aborsi Aman di Indonesia 2023
Situasi aborsi di Indonesia tidak banyak terlaporkan secara sistematis, dikarenakan kebijakan aborsi di Indonesia yang masih mengatur segala aspek aborsi
Meluruskan Akar Makar: Pendaftaran Permohonan Pengujian Frase “Makar “dalam KUHP di Mahkamah Konstitusi, Tanggal 16 Desember 2016
KUHP merupakan peraturan hukum pidana positif Indonesia yang dalam sejarahnya berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang
Seri 3 Laporan Tematik Pidana Mati ICJR Analisis Putusan dan Praktik Eksekusi Orang-Orang yang Dijatuhi Pidana Mati di Indonesia: “Mengingat Mereka yang Telah Tereksekusi”
Pidana mati masih menjadi salah satu beban sejarah dalam pembaruan hukum di Indonesia, meskipun sudah ada niat dari pemerintah untuk