“Qanun Jinayat Aceh tidak hanya bertentangan dengan dengan Undang- Undang Republik Indonesia tapi juga mengabaikan dan melupakan semangat dari Perjanjian Perdamaian Aceh(MoU Helsinki)”
“Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Paragraf 1.4.2 MoU Helsinki)”
UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dibentuk oleh pemerintah Indonesia dan DPR RI sebagai kerangka legislatif khusus yang diberikan oleh negara kepada daerah daerah tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 18 B ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, UU Pemerintahan Aceh dibentuk sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Perdamaian Aceh (MoU Helsinki). Karena itu UU Pemerintahan Aceh mestinya juga merupakan cerminan dari perjanjian perdamaian Aceh yang dilakukan antara Pemerintah RI.
Berdasarkan status khusus tersebut, Aceh diberikan kewenangan khusus yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh yang salah satunya adalah penerapan nilai-nilai syari’at Islam kepada masyarakat setempat yang diatur berdasarkan Qanun. Kedudukan Qanun sendiri dalam sistem hukum Indonesia adalah setingkat dengan peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Meskipun Pemerintah Aceh memiliki hak dalam mengatur daerahnya secara otonom dan khusus berdasarkan UU Pemerintahan Aceh, namun patut diingat kewenangan tersebut tidaklah bersifat absolut. Terdapat koridor-koridor hukum nasional dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk perjanjian – perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia yang menjadi batasan pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh.
Berdasarkan kewenangan khusus tersebut, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh telah mengeluarkan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Persoalannya, Qanun Jinayat yang sudah disahkan tersebut sudah bertentangan dengan 10 Undang -Undang yaitu :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005;
- Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) yang diratifikasi melalui UU No 5 Tahun 1998 dan
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2004;
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; dan
- Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) yang diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 1984.
Karena itu Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Solidaritas Perempuan menggunakan hak dan kewenangan hukumnya untuk mengajukan permohonan Hak Uji Materil terhadap Qanun Jinayat ini ke Mahkamah Agung.
Dalam permohonan setebal 40 halaman, ICJR dan Solidaritas Perempuan mengajukan setidaknya sembilan alasan hukum terkait pertentangan Qanun Jinayat dengan 10 undang – undang yang berlaku di Indonesia.
- Ketentuan Pidana Cambuk dalam Qanun Jinayat bertetangan dengan perundang-undangan dan hukum nasional RI
- Qanun Jinayat terkait Pasal yang mencantumkan mengenai hukuman cambuk bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Qanun Jinayat terkait hukuman cambuk bertentangan dengan Undang-Undang No 9 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
- Qanun Jinayat terkait Pasal yang mencantumkan mengenai hukuman cambuk bertentangan Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia)
- Qanun Jinayat terkait Pasal yang mencantumkan mengenai hukuman cambuk bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2004.
- Qanun Jinayat Bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Ketentuan mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan Qanun Jinayat, mengenai Duplikasi tindak Pidana dalam Qanun bertetangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (i), Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Ketentuan dalam Qanun Jinayat Bertentangan dengan asas “kejelasan tujuan”, asas “kejelasan rumusan” pada peraturan perundang-undangan yang diamanatkan melalui Pasal 5 huruf (a) (f) dan Pasal 6 ayat (1) (g), UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Ketentuan tindak pidana dalam Qanun mengenai “pengakuan bersalah yang memberatkan dirinya” telah Bertentangan dengan prinsip “non self incrimination”, yang diatur dalam, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidanadan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- Pasal 52 (1)dalam Qanun JinayatMengenai Beban Korban Perkosaan untuk Memberikan Bukti Bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Ketentuan Pasal 52 ayat (3) (4) dan (5) pasal 53, pasal 54, Pasal 55 dan pasal 56 dalam Qanun Jinayat mengenai sumpah sebagai tambahan alat bukti Bertentangan dengan Pasal 184 KUHAP dan Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Pasal 40 dan Pasal 42 Qanun Jinayat mengenai Penetapan Hakim Bertentangan dengan Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
- Pasal 36Qanun Jinayat mengenai Perzinahan bersifat diskriminatif dan bertetangan dengan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan. CEDAW (The Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) yang diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 1984
Berdasarkan alasan – alasan tersebut, ICJR dan Solidaritas Perempuan Memohon agar Mahkamah Agung berkenan agar menyatakan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat