Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) direncanakan akan diselesaikan pada Agustus 2018 sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada rapat terakhir di 30 Mei 2018, Pemerintah menjabarkan beberapa pasal yang masih perlu diambil keputusan bersama DPR dalam RKUHP. Sampai saat ini masih ada 16 pasal yang masih masuk dalam pending issues tersebut.
Selain dari 16 pasal pending issues yang akan disepakati, Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga memberikan beberapa catatan kritis terhadap pasal-pasal yang telah disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR. Salah satu yang mendapatkan kritik Aliansi Nasional Reformasi KUHP adalah ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan, atau biasa juga dikenal sebagai Contempt of Court (CoC), yang diatur dalam BAB VI melalui pasal 302 – 325 RKUHP
Menurut pandangan Aliansi, konsep Contempt of Court dalam konsep peradilan pidana di Indonesia justru tidak tepat digunakan. Indonesia menganut sistem non adversary model-inqusitorial, dimana hakim memegang kekuasaan yang begitu besar dan sebagai pengendali utama peradilan. Kedudukan Jaksa dan terdakwa juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan. Konsep CoC dikenal dalam negara – negara yang menganut sistem Adversary, dimana hakim hanya sebagai fasilitator sidang, Juri sebagai penentu dan kedudukan jaksa dengan terdakwa sejajar, sehingga pembuktian utama dilakukan dalam persidangan. Singkatnya, kedua sistem ini sangat bertolak belakang. CoC diharapkan untuk bisa menutup celah kekuasaan hakim yang tidak besar dalam konsep sistem Adversary.
Di Indonesia, yang menganut sistem non adversary model-inqusitorial, CoC tidak diperlukan lagi karena hakim memiliki kekuasaan besar yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC.
Selain itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga memberikan catatan khusus terhadap pasal 303 huruf c dan d yang berbunyi sebagai berikut:
RKUHP 28 Mei 2018
Pasal 303
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V, Setiap Orang yang secara melawan hukum:
a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
b. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Penjelasan RKUHP
Pasal 303
Huruf a:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar pengadilan tidak keliru dalam mengadili dan menjatuhkan pidana pada seseorang yang bukan pembuat atau pembantu tindak pidana.
Huruf b:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin lancarnya proses peradilan.
Huruf c:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi peradilan atau proses sidang pengadilan terhadap perbuatan yang menghina atau menyerang atau merusak kenetralan pengadilan.
Huruf d:
Cukup jelas.
Catatan Aliansi
Pasal 303 huruf c, tidak ditemukan penjelasan apakah itu berlaku di dalam persidangan ataupun di luar persidangan. Aliansi sepakat jika ketentuan tersebut untuk melindungi hakim di dalam persidangan bukan di luar persidangan. Namun Pasal 303 huruf c ini justru diberikan penjelasan yang dapat memberikan multitafsir. Karena dalam konteks negara yang demokratis, peradilan tidak dapat lepas dari kritik. Jangan sampai ketentuan ini malah melindungi peradilan dari kritik yang justru sebenarnya adalah kritik yang membangun.
Pasal 303 huruf d juga patut dipertanyakan. Ketentuan ini tidak sesuai dengan semangat kebebasan pers yang diamanatkan oleh UU Pers dan berpotensi akan mengancam kemerdekaan jurnalis dalam usaha menyampaikan informasi maupun berita dari kasus yang sedang diadili. Hal ini disebabkan tidak ada ukuran yang jelas dan terukur bagaimana seorang hakim dapat terpengaruhi oleh publikasi yang dimaksud. Ketentuan ini jelas masih kabur dan justru dapat berbalik menjadi pengekangan terhadap kebebasan pers. Seperti contoh: Pers akan sulit menginvestigasi dan memberitakan artikel tentang suatu kasus yang sedang berjalan di pengadilan, dimana disitu ada hak publik atau masyarakat umum untuk tahu.
Selain kedua catatan diatas, jika rumusan tersebut tetap dimasukkan ke dalam RKUHP, maka secara prinsip sistem peradilan kita menganut prinsip The sub judice rule. The sub judice rule ialah suatu aturan umum (general rule) yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan. Oleh karena itu, dalam praktiknya, di negara-negara yang menerapkan ketentuan ini, untuk menghindari adanya stigma bersalah yang mendahului putusan pengadilan, maka seharusnya untuk kasus yang sedang berjalan tersebut tidak boleh diperbincangkan atau dimuat berita agar tidak menjadi pembicaraan khalayak ramai. Maka implikasinya adalah seperti contoh sebagai berikut: terhadap kasus e-KTP yang sedang berjalan di KPK, maka tidak hanya media yang dilarang mempublikasikan kasus tersebut, DPR juga tidak diperbolehkan melakukan pembahasan kasus tersebut dengan dalih hak angket ataupun hak lainnya.
Oleh sebab itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar DPR dan Pemerintah meninjau ulang dimasukkannya CoC tersebut ke dalam RKUHP.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut berikut ini