ICJR Apresiasi Perubahan Pasal 319 KUHP tentang Penghinaan Pejabat Negara oleh Mahkamah Konstitusi
Tanggal 10 Desember 2015 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 013-022/PUU-IV/2015 telah memutuskan bahwa Pasal 319 KUHP yang mengatur penghinaan pejabat harus dimaknai sebagai delik aduan. Artinya, penuntutan atas delik penghinaan pejabat atau pegawai negeri hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan. Dalam amar putusannya MK menyatakan kecuali berdasarkan Pasal 316 dalam Pasal 319 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum.
Pasal 319 KUHP menyatakan:
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntutjika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316
Pasal 316 KUHP menyatakan:
Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
ICJR melihat bahwa pertimbangan MK untuk mengubah pasal tersebut cukup tepat, karena pelaporan delik penghinaan terkait Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP sangat memberikan kemudahan perlindungan bagi pejabat/pegawai negara atau kepada individu yang saat dihina sedang menjabat sebagai aparat pemerintah, bahkan menurut ICJR kemudahan ini justru sering disalahgunakan para aparat Negara. Argument bahwa pegawai negeri dan pejabat negara yang dihina harus selalu melakukan pengaduan dan atau pelaporan sendiri kepada aparat kepolisian, dikhawatirkan akan mengurangi efektivitas mereka dalam bekerja haruslah di tolak.
Lagi pula menurut ICJR penggunaan atau keberadaan pasal 316 ini juga tidak lagi sesuai dengan tugas yang diemban oleh pejabat publik, seseorang yang bekerja di sektor publik menurut ICJR harus sanggup menerima kritikan yang paling pedas sekalipun, bukan malah membalas kritik dengan kriminalisasi.
Menurut ICJR pertimbangan Mahkamah yang menganggap tidak relevan lagi membedakan pengaturan penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum sebagai delik aduan termasuk ancaman pidananya sudah cukup tepat. Pembedaan ini tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan seperti tertuang dalam UUD 1945.
Walaupun menurut ICJR pasal ini juga sebaiknya tidak perlu lagi keberadaannya dalam KUHP. Karena praktek, menghina dengan melakukan kritik sangat sulit untuk dibedakan dan tidak dapat konsisten di terapkan dalam pengadilan di Indonesia. keberadaan pasal ini justru sebaiknya di pikirkan ulang keberadaannya.
Dengan adanya Pasal 316 ini maka pejabat publik akan mendapat kemudahan dan peluang untuk menambahkan 1/3 ancaman hukuman bagi orang yang dianggap menghinanya, Ini yang menurut ICJR tidak tepat dalam konteks perkembangan saat ini. ICJR menolak rumusan yang memberikan sepertiga ancaman bagi pejabat publik yang merasa dihina.