Sejak lama, negara-negara di dunia telah menaruh perhatian yang besar terhadap isu penangkapan dan penahanan terhadap seseorang. Masyarakat internasional menyadari betapa rentannya hak-hak individu (awam) yang dilanggar ketika ia berhadapan dengan negara, termasuk dalam kerangka penegakan hukum. Oleh karena itu berbagai instrumen hukum internasional tentang perlindungan HAM terus muncul dan makin menguat. Munculnya berbagai instrumen HAM ini secara umum berakar dari keinginan untuk membatasi kewenangan represif dari negara dan sekaligus untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara melalui aparaturnya. Kini, instrumen-instrumen hukum itu telah menjadi sistem hukum hak asasi manusia internasional yang berlaku bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Sistem hukum HAM internasional telah mengatur prinsip-prinsip umum dan norma-norma yang bertujuan untuk melindungi dan mengatur hak setiap orang yang mengalami perampasan kemerdekaan. Dalam rangka perlindungan hukum, sistem hukum itu telah menjamin mekanismenya melalui berbagai prosedur yang tersedia, baik mekanisme yang didasarkan melalui piagam PBB maupun mekanisme dengan basis perjanjian internasional.
Sistem hukum HAM internasional menghendaki perlindungan hak asasi manusia dari segi substansi hukum domestik dan praktik prosedur hukum sesuai dengan tatanan (standar norma) yang berlaku secara universal. Selain itu, sistem hukum hak asasi manusia internasional juga telah menjangkau ranah administrasi peradilan (administration of justice). Artinya, sistem hukum hak asasi manusia juga telah menyediakan prinsip-prinsip umum dan prosedur bagaimana norma-norma hak asasi manusia tersebut dapat diterapkan.
Indonesia telah terikat dengan beberapa peraturan internasional itu melalui jalur ratifikasi. Dengan begitu, prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan itu praktis harus terakomodir pula di dalam sistem hukum nasional. Salah satu agenda penting dalam reformasi hukum di Indonesia adalah kebutuhan untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih demokratis dan akuntabel dimana akses atas keadilan dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia lainnya harus secara faktual menjadi public goods.
Penahanan merupakan salah satu masalah yang belum mendapat perhatian serius dalam perjalanan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh karena itu, pengalaman dan praktik penegakan hukum yang masih berlangsung hingga saat ini cukup menunjukkan bahwa penahanan pra-persidangan telah menjadi salah satu sumber penyalahgunaan wewenang, khususnya oleh aparat penegak hukum. Penahanan pra-persidangan di Indonesia mencapai jangka waktu 230 hari sebelum seseorang diajukan ke persidangan. Meski KUHAP tidak mengharuskan seseorang yang ditahan harus berada dalam tahanan di rumah tahanan negara, namun tak pernah ada mekanisme yang dikembangkan untuk melihat alternatif lain di luar penahanan di rumah–rumah tahananan negara. Akibatnya para penegak hukum lebih memilih untuk menahan tersangka dalam jenis penahanan rumah tahanan negara.
Penahanan seorang tersangka pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia, penahanan terhadap seseorang telah lama dianggap sebagai bagian diskresi pejabat yang memiliki wewenang penahanan, tanpa dapat diuji kesahihan dari penilaian sepihak yang dilakukan oleh pejabat tersebut. Oleh karena itu, dengan jangka waktu yang demikian lama di rumah–rumah tahanan negara dan tanpa ada proses pengujian penahanan yang memadai menjadi salah satu faktor memburuknya situasi dan kondisi di tempat–tempat penahanan di Indonesia.
Dualisme pengelolaan tempat penahanan juga menjadi isu penting, KUHAP menekankan bahwa pengelola tempat penahanan haruslah tunggal, dalam hal ini dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga jika penyidik telah menangkap orang yang diduga terlibat kejahatan dan saat memutuskan hendak menahan maka orang yang ditahan itu seharusnya dikirim ke tempat–tempat penahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM bukan ditahan di kantor–kantor penyidik.
Dualisme pengelola tempat penahanan ini sebenarnya adalah situasi transisi yang tanpa disadari secara perlahan telah menjadi situasi yang permanen tanpa ada kesungguhan untuk mengubah kondisi ini agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penilaian sepihak tentang kondisi apakah tersangka dapat ditahan dan anggapan bahwa unsur keadaan kekhawatiran adalah diskresi dari pejabat yang menahan telah membuat pengadilan, melalui lembaga praperadilan, seperti ‘enggan’ untuk menguji secara substantif apakah penahanan yang dilakukan terhadap seorang tersangka benar–benar harus dilakukan dan telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam KUHAP.
Dalam naskah Rancangan KUHAP tahun 2012, memang telah terjadi perubahan terkait dengan kewenangan penahanan di tingkat penyidikan dan penututan. Perubahan tersebut tidak hanya terkait mengenai prosedur perpanjangan penahanan di tingkat penyidikan namun juga lamanya jangka waktu penahanan di tingkat penyidikan sampai dengan peran Hakim pemeriksa pendahuluan. Namun rumusan Rancangan KUHAP bukan tanpa celah, banyak aturan-aturan penahanan yang ada masih belum sesuai dengan beberapa prinsip-prinsip hukum HAM internasional.
Unduh Policy Paper disini