Proses pembaruan hukum pidana yang berorientasi terhadap perlindungan kebebasan sipil adalah suatu hal yang harus didukung dan Institute for Criminal Justice Reform, Rumah Cemara, serta Aliansi Nasional Reformasi KUHP berkomitmen untuk mendukung proses pembaruan hukum pidana di Indonesia. Perlu diingat bahwa dukungan terhadap proses pembaruan hukum pidana bukan hanya semata-mata mendorong Indonesia untuk memiliki hukum baru yang bukan merupakan buatan masa kolonial, namun harus dengan semangat penghormatan hak asasi manusia pada setiap proses pembaruannya.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hadir dengan semangat memperbarui hukum pidana di Indonesia yang mengatur banyak aspek kehidupan masyarakat Indonesia, tak sedikit juga terkait aspek-aspek kesehatan seperti penanggulangan HIV/AIDS. Sayangnya, proses pembahasan RKUHP kental dengan narasi moralitas, tanpa disadari justru menegasikan tujuan pembaruan hukum itu sendiri, yaitu untuk mengatur masyarakat dan melindungi kelompok minoritas.
RKUHP yang seharusnya hadir dengan nuansa penghormatan Hak Asasi Manusia termasuk melindungi kelompok rentan seperti kelompok minoritas seksual, pengguna dan pecandu narkotika, pekerja seks, justru malah hadir dengan rumusan yang melanggengkan stigma terhadap kelompok-kelompok tersebut, seperti hadirnya wacana untuk mengkriminalisasi pekerja seks, wacana mengkriminalisasi semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan termasuk hubungan seksual sesama jenis, sampai dengan mengkriminalisasi kegiatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan yang memiliki dampak baik terhadap promosi kesehatan reproduksi.
Tanpa disadari, upaya kriminalisasi ini justru akan berdampak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS yang telah dikomitmenkan Pemerintah selama ini. Tulisan ini hadir sebagai masukkan kepada Pemerintah dan DPR yang saat ini masih membahas RKUHP untuk sekali lagi melihat dengan seksama dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh RKUHP apabila dirumuskan tanpa mempertimbang aspek lain, salah satunya penanggulangan HIV/AIDS.