Pada 10 Desember 2018, Negara-negara di Dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia termasuk di Indonesia. Peringatan Hari Hak Asasi Manusia bukan hanya pada acara serimonial, namun harus terwujud konkret dalam rumusan RKUHP oleh Pemerintah dan DPR.
10 Desember menandakan lahirnya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pada 1948. Indonesia telah memberikan jaminan penghormatan Hak Asasi Manusia pada UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan berbagai konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi Indonesia, hal ini pun telah tertuang dalam konsideran UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia harus menjadi momentum Pemerintah dan DPR yang saat ini tengah melakukan pembahasan RKUHP untuk menjamin penghormatan Hak Asasi Manusia dalam setiap rumusan RKUHP.
Sayangnya setelah hampir 4 tahun dibahas di DPR, catatan potensi pelanggaran Hak Asasi manusia masih terus tergambar dalam rumusan RKUHP sampai dengan versi terakhir yang diterima Aliansi Nasional Reformasi KUHP draft 9 Juli 2018.
Perlu diingat, terdapat 3 kasus yang cukup ramai diperbincangkan terjadi di penghujung tahun 2018:
Pertama, kasus kriminalisasi WA, di Jambi pada Juli 2018. Seorang anak korban perkosaan yang mengalami kehamilan dan harus mendapati anak yang dikandungnya meninggal dunia karena melahirkan secara tidak aman, namun WA malah dihukum dengan pidana penjara 6 bulan dengan tuduhan melakukan aborsi. WA diputus Lepas oleh Pengadilan Tinggi Jambi, namun Jaksa mengajukan permohonan kasasi atas putusan ini, dan kasus ini masih dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.
Kedua, kasus kriminalisasi Budi Pego dengan putusan kasasi diterima pada November 2018. Budi Pego adalah warga pejuang lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Kab. Banyuwangi. Dirinya dituduh melanggar Pasal 107a UU Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP tentang Penyebaran Ajaran Komunisme/ Marxisme/ Leninisme. Dirinya dianggap sebagai sebagai koordinator aksi yang menyebarkan ajaran komunisme, dengan tidak mencegah dibuatnya logo palu arit bercat merah yang identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam spanduk yang dibawa warga ke Kec. Pesanggaran dalam aksi penolakan tambang emas oleh karyawan PT. BSI. PN Banyuwangi menghukumnya dengan pidana penjara 10 bulan, Mahkamah Agung justru memperberat hukumannya menjadi penjara 4 tahun.
Ketiga, kasus Baiq Nuril. Seorang mantan tenaga honorer di Mataram, NTB yang merupakan korban kekerasan seksual dari atasannya yang justru malah dikriminalisasi dengan tuduhan menyebarkan konten asusila di pada Pasal 27 ayat (1) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Baiq Nuril diputus bebas di Pengadilan Negeri Mataram karena tidak terbukti menyebarkan konten asusila dalam sistem elektronik. Jaksa malah mengajukan kasasi atas putusan tersebut, dan MA justru menghukum Baiq Nuril dengan pidana penjara 6 bulan dengan pertimbangan yang tidak jelas.
Ketiga kasus tersebut menandakan terdapat permasalahan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Ketiganya merupakan korban yang Hak Asasinya terlanggar, namun justru dikriminalisasi oleh rumusan karet dalam hukum pidana di Indonesia. Sayangnya rumusan karet tersebut masih terjadi di rumusan RKUHP.
- Terkait dengan rumusan larangan aborsi, Pasal 502 ayat (1) RKUHP masih mengkriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi tanpa ada pengeculian sesuai dengan UU Kesehatan, jaminan pengecualian justru hanya diberikan kepada dokter yang membantu aborsi (Pasal 504 ayat (3)), sedangkan untuk perempuan yang melakukan tidak ada jaminan bebas dari kriminalisasi.
- Terkait dengan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme, Pasal 206-207 RKUHP mengkriminalisasi perbuatan ini dengan rumusan yang sangat karet. ketentuan ini berpotensi menghadang kebebasan berekpresi dan memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku dan lain-lain yang di klaim sepihak sebagai ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Padahal tidak ada kepentingan hukum pidana dari diaturnya pasal ini. Padahal kebebasan berekspresi telah dijamin oleh pemerintah Indonesia, lewat pengakuan DUHAM, ratifikasi Konvenan Sipil dan Politik termasuk dalam UUD 1945, UU HAM, termasuk UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
- Terkait dengan penyebaran konten asusila dalam sistem elektronik, secara jelas hal ini dikarenakan rumusan karet UU ITE. RKUHP sampai dengan draft 9 Juli 2018 masih memuat rumusan karet yang akan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia, termasuk berpotensi mengkriminalisasi korban yang memperjuangkan hak asasinya yang seharusnya dilindungi. Rumusan karet tersebut, antara lain terkait: Penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 259 RKUHP), penghinaan presiden dalam sistem elektronik (Pasal 239 RKUHP), penghinaan terhadap agama (Pasal 326-327 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan Lembaga negara (Pasal 380-381 RKUHP), penghinaan terhadap golongan penduduk (Pasal 261-262 RUHP), penghasutan untuk melawan penguasa umum dalam sistem elektronik (Pasal 267), dan pasal tentang pornografi dalam RKUHP yang berpotensi menyerang korban (Pasal 440-441 RKUHP).
Tidak hanya terkait dengan hal yang telah dipaparkan di atas, Jaminan penghormatan HAM dalam RKUHP masih terus diragukan dalam berbagai rumusan dan materi dalam RKUHP. Catatan terhadap draft 28 Mei 2018 yang merupakan draft terakhir yang dibahas Pemeritah dan DPR terkait dengan pontensi bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, antara lain:
- Pidana mati masih diberlakukan yang seharusnya dihapuskan karena secara jelas ICCPR menyerukan negara-negara di dunia untuk menghapuskan pidana mati. Walaupun dirumuskan dalma Buku I hanya sebagai pidana alternative, namun rumusan tindak pidana dalam Buku II masih memuat 19 ancaman pidana mati (antara lain: untuk tindak pidana makar (Pasal 211), pengkhianatan negara (Pasal 223), Sabotase/Tindak Pidana pada waktu perang (Pasal 223), pembunuhan berencana (Pasal 498), pencurian dengan kekerasan Pasal 518 ayat (4).
- Pengaturan hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 679) yang akan diserahkan kepada Peraturan Daerah, jelas akan menghadirkan Perda-perda diskriminatif dan melanggar HAM seperti yang dirumuskan dalam Qanun Jinayat di Aceh
- Masalah pengaturan “makar” (Pasal 181, Pasal Pasal 211, Pasal 240-242) yang masih tidak merujuk pada makna asli “serangan”, berpontensi memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat
- Masalah kriminalisasi semua bentuk hubungan seksual di luar perkawinan (Pasal 446 ayat (1) huruf e) yang secara jelas melanggar Hak privasi dan berpotensi menghadirkan pelanggaran atas hak peradilan adil dan berimbang dalam pelaksanaannya
- Masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court (Pasal 302-303) yang memuat rumusan karet berpotensi mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers
- Masalah wacana kriminalisasi hubungan sesama jenis yang dalam draft 28 Mei 2018 terminologi “sesama jenis” hadir dalam penjelasan (Pasal 451), hal ini akan menimbulkan stigma terhadap orang dengan orientasi seksual berbeda
- Hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis, seperti pasal penghinaan presiden (Pasal 238) dan pasal penghinaan pemeritah yang sah (Pasal 259)
- Rumusan tindak pidana penghinaan terhadap agama (Pasal 236-237), tidak sesuai apa yang diserukan dalam ICCPR, justru tidak menjamin kepetingan hak asasi manusia untuk memeluk agama dan menjalankan agamanya
- Tindak pidana narkotika yang seharusnya tidak diatur dalam RKUHP (Pasal 700-717), yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia atas kesehatan dan hidup layak bagi pengguna dan pecandu narkotika
Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia harus diwujudkan dalam Rancangan KUHP. Peringatan Hari Hak Asasi Manusia bukan hanya pada acara serimonial, namun harus terwujud konkret dalam rumusan RKUHP oleh Pemerintah dan DPR.
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel