Paska berlakunya UU SPPA, pemerintah kini menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pelaksanaan Atas UU SPPA (RPP SPPA). Sebagai aturan pelaksana, PP SPPA diharapkan mampu menerjemahkan atau setidaknya memberikan jalan agar UU SPPA dapat berjalan dengan baik di level praktik. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mengenai pendampingan hukum bagi anak. Dari seluruh rangkaian sistem peradilan pidana anak, kehadiran pendamping hukum pada saat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan melakukan Diversi merupakan proses yang harus digaris bawahi.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa UU SPPA masih cukup bimbang untuk memastikan kehadiran pendamping hukum bagi anak. Erasmus Napitupulu, Peneliti ICJR, menyatakan bahwa kebimbangan itu kemudian berlanjut pada pengaturan dalam RPP SPPA. Dalam draft RPP SPPA yang diterima oleh ICJR, tertulis pada Pasal 13 ayat 3 dan ayat 4 RPP SPPA, yang pada pokoknya menyatakan bahwa keterlibatan penasihat hukum anak dapat dilakukan apabila diperlukan. “ini menjadi titik krusial sebab seakan-akan posisi penasihat hukum anak tidak sepenting Pembimbing Kemasyarakat ataupun Pekerja Sosial Profesional” sebut Erasmus. “baik UU SPPA maupun RPP SPPA terkesan ragu memastikan anak didampingi oleh penasihat hukum” tambah Erasmus.
Menurut Erasmus, dalam UU SPPA, pada setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hokum, hal ini tegas disebutkan dalam Pasal 23 UU SPPA. Erasmus menyebutkan ada kontradiksi antara UU SPPA dengan RPP SPPA, di satu sisi UU SPPA menggunakan kata wajib terkait kehadiran bantuan hukum atau penasihat hukum, sedangkan RPP SPPA justru menurunkan derajat perlindungan anak dengan menganulir kewajiban hadirnya bantuan hukum atau penasihat hukum bagi anak.
Erasmus menduga bahwa pola pikir pemerintah atau perancang RPP SPPA yang seakan-akan memisahkan Diversi dari proses peradilan pidana adalah akar dari lahirnya ketentuan dalam Pasal 13 ayat 3 dan ayat 4 RPP SPPA. “seakan-akan semua anak harus mau di Diversi, seharusnya Diversi ada karena kepentingan anak yang sudah mengakui perbuatannya atau setidak-tidaknya diduga kuat melakukan tindak pidana” jelas erasmus. Untuk itu apabila anak sudah mengakui atau diduga kuat melakukan tindak pidana, menjadi suatu keharusan dalam konsep fair trial anak didampingi oleh penasihat hukum atau bantuan hukum. “pengaturan tersebut adalah bentuk diskriminasi bagi anak yang sedang menghadapi proses peradilan pidana” tegas erasmus.
Untuk pendampingan hukum, dari data yang dimiliki oleh ICJR, berdasarkan 115 putusan perkara pidana anak se-Jakarta pada tahun 2012, dalam 47 perkara, anak pelaku tindak pidana tidak didampingi oleh penasihat hukum. Erasmus mengatakan bahwa dengan konsep Diversi dalam UU SPPA yang sangat menonjolkan peran korban dari pada kepentingan anak, posisi anak menjadi sangat lemah, apalagi bila tidak didampingi oleh penasihat hukum, maka dapat dipastikan Diversi yang ditujukan untuk kepentingan anak tidak mudah untuk tercapai. “Secara filosofis, Diversi hadir untuk kepentingan anak, meskipun menjadi keharusan mempertimbangkan kepentingan korban namun posisi korban terlalu kuat dalam konsep Diversi di UU SPPA” ucap Erasmus, “sehingga tanpa kehadiran penasihat hukum, proses diversi tidfak berimbang dan hanya akan menyudutkan anak yang berhadapan dengan hukum” erasmus menjelaskan.
Untuk itu meskipun ketentuan Diversi menjadi awal yang baik, namun kehadiran penasihat hukum menjadi sangat krusial dalam mencapai kepentingan dan keadilan bagi anak. ICJR mengharapkan akan ada perubahan dalam RPP SPPA, terlebih pembenahan ke depan tentang pengaturan pendampingan hukum dan bantuan hukum di Indonesia.