Jakarta, Kompas – Aparat intelijen negara berpotensi menyalahgunakan penyadapan jika tata cara dan mekanismenya tidak diatur dalam undang-undang khusus. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah seharusnya membahas undang-undang yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan sebelum membahas RUU Intelijen.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara Suwahju, saat ini sedikitnya ada sembilan aturan soal penyadapan dan tata caranya yang berbeda-beda. Kesembilan aturan tentang penyadapan ini antara lain terkait dengan aktivitas pemberantasan korupsi, terorisme, dan narkotika.”Banyaknya aturan penyadapan yang berdiri sendiri berpotensi membuat penyadapan disalahgunakan, termasuk oleh aparat intelijen nantinya,” kata Anggara di Jakarta, Jumat (25/3).
Anggara mengatakan, aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah yang lain tetap bisa memiliki kewenangan penyadapan. ”Tetapi, seperti apa syarat dan tata caranya, itu harus diatur secara detail dalam sebuah undang-undang khusus tentang penyadapan,” ujarnya.
Wakil Deputi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Zainal Abidin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengamanatkan pemerintah agar segera membuat peraturan tentang syarat dan tata cara penyadapan serta perekaman agar bisa mencegah kemungkinan penyalahgunaan.
”Undang-undang yang dimaksud MK tentang penyadapan ini selanjutnya harus merumuskan siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Ini berarti penyadapan dan perekaman untuk menyempurnakan alat bukti,” kata Zainal.
MK menilai hingga saat ini belum ada pengaturan komprehensif mengenai penyadapan. Aktivitas penyadapan diatur dalam undang-undang berbeda, dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda pula.
Zainal menuturkan, Indonesia punya pengalaman masa lalu yang buruk terkait dengan aktivitas intelijen yang menjadi penopang kekuasaan. Seharusnya badan intelijen sudah direformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto. Upaya reformasi badan intelijen ini termasuk dengan tidak memberikan kewenangan penyadapan tanpa batas. ”Tanpa pengaturan khusus, penyadapan bisa melanggar hak-hak privasi warga negara,” katanya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin menyatakan, dalam RUU Intelijen, pemerintah memang menginginkan kelonggaran atas aktivitas penyadapan, antara lain tanpa prosedur izin dari pengadilan terlebih dulu. Ini karena beberapa kewenangan seperti melakukan penangkapan tidak disetujui DPR.
Adapun Wakil Ketua Setara Institut Bonar Tigor Naipospos menilai kewenangan penangkapan oleh intelijen seharusnya tidak diperlukan. Kewenangan penangkapan hanya akan berpotensi melanggar hak asasi manusia dan menyalahi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. ”Intelijen fungsinya memberi informasi ke pejabat publik. Penangkapan itu domain kepolisian,” kata Tigor. (BIL/WHY)
Artikel ini dimuat di cetak.kompas.com[1]
- cetak.kompas.com: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/26/03381113/penyadapan.rawan