Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). PP ini merevisi beberapa ketentuan dalam PP No. 27 Tahun 1983, mengenai ganti rugi dan penyesuaian besaran jumlah ganti kerugian. Sebelumnya dalam PP No. 27 Tahun 1983 nilai kerugian yang bisa dituntut atas pelanggaran Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP hanya paling rendah lima ribu rupiah dan paling tinggi satu juta rupiah. Disamping itu proses eksekusinya juga sangat lambat dan sangat membebani korban.
Menurut ICJR, perubahan signifikan yang dituangkan dalam PP No. 92 Tahun 2015 adalah:
Pertama adanya kenaikan nilai ganti kerugian yang dapat diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP. Berdasarkan PP No. 92 Tahun 2015, nilai ganti kerugian bisa naik lagi dalam rentang nilai Rp 25 juta hingga Rp300 juta jika tindakan aparat penegak hukum dimaksud mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. Bahkan nilai kerugian dapat menjangkau rentang nilai Rp50 juta hingga Rp 600 juta jika perbuatan menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili berakibat pada matinya seseorang.
Kedua, melalui PP No. 92 Tahun 2015, Pemerintah juga menata jangka waktu pembayaran ganti kerugian. Pasal 11 menyebutkan pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh Menteri. PP ini mengamanatkan Menteri Keuangan membuat peraturan menteri yang lebih teknis untuk mengatur tata cara pembayaran ganti kerugian.
ICJR mengapresiasi perubahan kebijakan ini yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban atas berbagai kesalahan dalam penyidikan dan pengadilan. Selama ini akses korban atas tuntutan ganti rugi sangat tidak fair. Paling tidak, PP ini dapat dianggap sebagai produk hukum transisi dalam melakukan perbaikan hukum acara pidana kearah perubahan KUHAP di masa depan.
Perubahan kebijakan ini juga mendorong aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan penyidikan dan menahan seseorang. Karena beban pembayaran tuntutan akan dibebankan ke dalam anggaran biaya negara. Salah tangkap dan salah menahan orang akan berimplikasi atas pembayaran tuntutan kepada korban, dan pembayaran ini berdasarkan keuangan Negara, jadi aparat penegak hukum harus professional menjalankan kewenangannya di tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan.
Namun ICJR masih mendorong perubahan yang signifikan mengenai prosedur dan mekanisme pengajuan ganti rugi tersebut. ICJR menganggap prosedurnyan masih membebani korban, karena korban yang mengajukan haruslah membuktikan terlebih dahulu tuntutannya secara resmi lewat pengadilan. Beban pembuktian masih dibebankan kepada korban, lagi pula mekanisme praperadilan saat ini membutuhkan partisipasi advokat, dimana tidak banyak korban dapat mengakses fasilitas tersebut.
Pasca PP ini, maka langkah yang paling penting untuk diawasi adalah mengenai Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran. ICJR mendorong mekanisme yang lebih transparan dan tidak birokratis di Kementerian Keuangan, sehingga Korban dapat segera mengakses pembayaran kerugian dari Negara.