Pada Kamis, 31 Juli 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi menyatakan persetujuannya terhadap permohonan Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, serta pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam keterangannya menjelaskan bahwa amnesti yang diberikan kepada Hasto merupakan bagian dari program pemberian amnesti secara massal terhadap sekitar 44 ribu orang narapidana dan tahanan lainnya. Program ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan atau overcrowding Rutan/Lapas yang saat ini menjadi permasalahan serius dalam sistem hukum di Indonesia. Setelah dilakukan proses verifikasi yang terhadap para calon penerima amnesti, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti tercatat hanya 1.178 orang yang dianggap memenuhi kriteria dan layak untuk diajukan mendapatkan amnesti dari negara.
Menanggapi kebijakan ini, ICJR menyerukan pentingnya transparansi dalam menjelaskan alasan yang mendasari pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto serta abolisi kepada Tom Lembong. ICJR menilai bahwa tanpa adanya alasan yang jelas, keputusan ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum yang seharusnya berjalan independen dan bebas dari kepentingan politik. ICJR telah memberikan catatan terhadap proses pemberian amnesti massal ini, karena tidak ada kebijakan umum yang terbuka yang menjelaskan apa saja kriteria pemberian dan bagaimana proses verifikasi dilakukan. Hal tersebut hanya dinarasikan oleh aktor pemerintah, tidak ada kebakuan aturan yang jelas.
Berdasarkan pada penjelasan Menteri Hukum mengenai kriteria kasus yang dapat diajukan untuk mendapatkan amnesti, di antaranya adalah tentang penghinaan kepada kepala negara; warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa; kasus makar tidak bersenjata di Papua; dan pengguna narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi. Menurut ICJR, pemberian amnesti kepada Hasto kepada Hasto yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam kategori yang selama ini direncanakan dalam program amnesti sehingga pemberiannya patut untuk dipertanyakan.
Oleh karena itu, kembali pada tujuan pemberian amnesti massal untuk mengatasi overcrowding, ICJR menekankan kebijakan seperti ini dikhawatirkan akan menjadi langkah tidak jelas, rentan politisasi, serta tidak menyentuh akar persoalan hukum di Indonesia. Bagaimana bisa seluruh permasalahan kebijakan hukum yang kompleks diselesaikan hanya dengan pemberian amnesti dan abolisi semata?
Upaya reformasi sistem hukum secara menyeluruh perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Ini mencakup revisi UU Narkotika dengan pendekatan dekriminalisasi, penguatan alternatif pemidanaan, serta perbaikan kebijakan pidana yang telah lama bermasalah, termasuk kerangka hukum materiil seperti UU Tipikor.
Penegakan hukum yang bermasalah juga akan terus terjadi jika proses peradilan pidana tidak akuntabel dan tak ada pengawasan yang efektif yang saling mengawasi. Untuk itu, jika memang amnesti dan abolisi ini bukan politisasi, maka komitmen perbaikan hukum harus dilakukan melalui revisi UU Narkotika, RUU KUHAP, revisi UU Tipikor, dan penguatan persiapan implementasi KUHP 2023. Tanpa langkah-langkah tersebut, permasalahan yang sama hanya akan kembali terulang.
Jakarta, 5 Agustus 2025
Hormat Kami,
ICJR