1. Pengantar
Paska reses, Panja RUU Terorisme kembali akan melanjutkan pembahasan atas DIM RUU Terorisme pada masa sidang I Tahun 2017-2018. Sebelumnya dalam pembahasan terakhir Tanggal 26 Juli 2017, Panja telah membahas DIM 80 Pasal 34 mengenai perlindungan saksi dan aparat penegak hukum. Salah satu perhatian Institute for Criminal Justice reform (ICJR) dalam masa pembahasan saat ini adalah soal minimnya hak-hak korban terorisme. ICJR melihat begitu banyaknya kelemahan terkait hak korban yang tidak direvisi oleh pemerintah dalam RUU Pemberantasan Terorisme tahun 2016. Tidak ada satupun hak korban yang diperkuat dalam RUU. Justru RUU lebih mengatur mengenai tersangka atau terpidana sampai dengan urusan mengenai radikalisasi. Beberapa hal krusial terkait hak-hak korban dalam amatan ICJR adalah:
1.1. Tidak Ada Pencantuman Pengertian Korban Yang Memadai
UU Pemberantasan terorisme tidak pernah menjelaskan apa pengertian dari “korban”. Walaupun dalam berbagai regulasi setelahnya pengertian korban telah diakomodasi, terutama oleh UU No 13 tahun 2006 dan No 31 tahun 2014. Tidak adanya pengertian korban yang memadai tersebut harusnya direspons dalam RUU tahun 2016. RUU sebaiknya mengadopsi standar minimal korban terorisme seperti dalam UU No 31 Tahun 2014 pasal 1 angka 3 Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Atau lebih jauh lagi RUU juga mengakomodir definisi korban terorisme yang di rekomendasikan oleh Pelapor Khusus PBB
1.2. Tidak Ada Pencantuman Hak Korban Terorime Secara Spesifik
Lebih memprihatinkan lagi baik dalam UU pemberantasan terorisme tahun 2003 dan RUU Pemberantasan terorisme 2016, tim perumus juga tidak mencantumkan hak-hak korban terorisme secara lebih spesifik. Pengaturan serba minimalis terkait kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pun tidak berupaya diperjelas (pasal 36-42). Padahal dalam perkembangan terbaru, respon Negara atas Korban terorisme sudah sangat spesifik. Rekomendasi pelapor khusus PBB maupun Memrorandum Madrid justru tidak masuk dalam revisi UU Pemberantasan Terorisme tersebut.
1.3. Kompensasi masih Tergantung Kepada Pengadilan
Satu hal lagi yang secara regulasi dan praktik telah terbukti gagal adalah pemberian kompensasi bagi korban yang pemberiannya harus diputuskan dalam amar putusan pengadilan. Ketentuan ini yang dalam UU pemberantasan terorisme yang mengadopi UU pengadilan HAM telah terbukti menegasikan hak korban terorisme selama ini. Seharusnya pemberian kompensasi bagi korban bersifat segera, tanpa menunggu putusan pengadilan karena kompensasi ini jelas merupakan tanggung jawab Negara lewat pemerintah, dan menyamakan prosedur kompensasiyang hampir sama dengan restitusi (tanggung jawab pelaku dalam mekanisme restitusi) jelas merugikan korban.
Pemberian Kompensasi yang berbasiskan kepada putusan pengadilan sangat merugikan korban karena beberapa hal yakni:
Pertama, tidak semua korban terorisme dapat diakomodasi namanya dalam putusan pengadilan. Karena putusan pengadilan, berdasarkan praktik, hanya mencantumkan nama-nama korban yang disebutkan dalam dakwaan jaksa, atau nama-nama korban yang dipanggil untuk memberikan keterangannya dalam sidang pengadilan. Maka jumlah mereka yang dapat diidentifikasi sangat terbatas. Disamping itu pula adanya kegagalan untuk mengidentifikasi nama-nama korban secara akurat dalam dokumen-dokumen persidangan. Akibatnya jumlah mereka yang mendapatkan kompensasi oleh pengadilan sangat sedikit jumlahnya, dari seluruh praktik pengadilan terorisme hanya ada 8 nama yang secara resmi dicantumkan namanya dalam putusan pengadilan yang berhak mendapatkan kompensasi
Kedua, dengan adanya syarat Kompensasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan, maka ada penafsiran yang keliru dari praktik, (bandingkan nantinya dengan putusan pengadilan HAM). Bahwa pencantuman nama-nama korban yang mendapatkan kompensasi hanyalah tersedia dalam perkara-perkara dimana pengadilan telah menghukum terdakwa pelaku terorisme.
Ketiga, dengan syarat kompensasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan, maka Jaksa seharusnya yang mendorong permohonan kompensasi tersebut, namun karena UU tidak jelas memberikan kapan saatnya permohonan Kompensasi didorong dalam pengadilan, maka jaksa bersifat menunggu atau pasif. Tidak ada pengaturan yang tegas yang mewajibkan Jaksa mengajukan kompensasi. Apalagi partisipasi korban dalam UU hanya terbatas dalam hal “Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan”. Harusnya pengajuan Kompensasi ini wajib dilakukan oleh Jaksa dan dibuka partisipasi korban dalam pengajuannya di pengadilan.
Keempat, hal krusial lainnya dengan adanya syarat kompensasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan, maka akses korban atas hak kompensasi memang sengaja dibatasi. Hal ini karena kompensasi harus menunggu amar putusan pengadilan. Di samping proses pengadilan lama dan berlarut-larut, sedangkan korban membutuhkan bantuan finansial yang bersifat segera. Maka jelaslah bahwa ada skema menunda-nunda atau menghalang-halangi pemberian kompensasi bagi korban
1.4. Tidak Ada Pencantuman Hak Khusus Mengenai Bantuan Medis yang Bersifat Segera
Salah satu kekosongan pengaturan bagi penanganan korban terorisme adalah soal tidak adanya kejelasan atau ketegasan bantuan medis bagi korban yang bersifat segera. Dalam regulasi dan praktiknya selama ini, memang penanganan bagi korban terorisme langsung pada saat pasca serangan masuk dalam kategori darurat medis, yang masuk dalam lingkup Kepmenkes 145/ Menkes/ SK/I/ tahun 2007 tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan. Namun aturan belum mengatur tanggung jawab Negara atau pemerintah secara lebih presisi bagi penanganan darurat medis pascaserangan. Memang berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 di dalam pasal 7 sudah dinyatakan mengenai bantuan medis, psikologis dan psikososial bagi korban terorisme. Namun tetap saja pengaturan bahwa penanganan medis, khususnya yang bersifat segera bagi korban dalam RUU pemberantasan terorisme sangat diperlukan. Hal itu untuk memaksimalkan penanganan korban sehingga tidak ada saling tuding mengenai siapa yang harus membayarnya dan lebih memastikan pembayaran klaim darurat medis di masa depan.
1.5.Pengaturan Rehabilitasi Yang Tidak Memadai
Hak rehabilitasi bagi korban salah penanganan, salah prosedur oleh apparatus penegak hukum termasuk pula dalam hal terjadi malpraktek pengadilan (miscariege of justice), sangat tidak memadai karena terbatas, UU hanya menyaratkan “lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Jadi rehabilitasi dalam UU hanya terbatas hanya dalam konteks malapraktek yang kemudian diputuskan oleh pengadilan, yang berkekuatan tetap.
Bagaimana dengan kesalahan prosedur di tingkat penyelidikan atau penyidikan dan belum sempat masuk ke ranah pengadilan. Misalnya salah tangkap, kesalahan prosedur penahanan bahkan penyiksaan dan lain sebagainya. Dalam situasi ini maka korban akan sangat sulit mendapatkan hak-hak terkait hak atas rehabilitasi. Yang tersedia hanyalah mekanisme Praperadilan yang terbatas Ketentuan ini jelas tidak sesuai dengan prinsip prinsp fair trial. Oleh karena itulah maka pemberian hak rehabilitasi harus diperluas tidak hanya harus di level pengadilan, namun pada semua level. Disamping itu mekanisme pemberiannya haknya juga sangat sumir, dinyatakan dalam UU bahwa “Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia”.
Rekomendasi ICJR
Berdasarkan hal-hal diatas ICJR memprioritaskan perubahan ketentuan dalam pasal-pasal RUU terorisme yakni
Pertama, kompensasi kepada korban tidak melalui putusan pengadilan; dan
Kedua, tersedianya aturan dan kepastian jaminan penaganan korban terorisme yang bersifat segera, ketiga meperkuat bantuan medis, psikologis dan psikososial pasca masa darurat medis dan keempat jaminan hak-hak santunan dan jaminan kepada korban dalam jangka panjang dan kelima memastikan pembemrian rehabilitasi bagi korban (miscariege of justice) yang lebih pasti
- Peta DIM Fraksi terkait Perlindungan Korban
Berbeda dengan RUU usulan pemerintah, ternyata cukup banyak usulan fraksi yang memberikan penguatan bagi hak korban terorisme (FPDIP, FPG, Fgerindra, FPD, FHanura dan FPKB). ICJR sangat mengapresiasi masukan dari berbagai fraksi yang peduli akan penguatan hak-hak korban terorisme. Namun di sisi lain ICJR masih melihat 4 fraksi Panja yakni FPAN, FPPP, FPKS dan Nasdem yang tidak memberikan usulan apapun terkait penguatan hak korban.
2.1.Terkait hak kompensasi
FPDIP mengusulkan revisi atas hak kompensasi korban dalam Pasal 36. Sedangkan FPG secara lebih komprehensif mengusulkan bahwa terkait hak kompensasi diberikan berdasarkan Keputusan BNPT, dengan usulan bahwa pengajuan pembayaran kompensasi dilakukan oleh korban melalui LPSK kepada Menteri Keuangan.Menteri Keuangan akan memberikan kompensasi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan pembayaran. Pelaksanaan pemberian kompensasi disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi,Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
F PGERINDRA mengusulkan hak kompensasi yang lebih progresif tanpa mekanisme putusan pengadilan. Dinyatakan dalam usulan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi. Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Kompensasi diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya atau melalui lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan memberikan kompensasi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan
FPD mengusulkan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Kompensasi diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya atau melalui lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban kepada Menteri Keuangan
FPD juga mengusulkan, menteri Keuangan memberikan kompensasi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.Pelaksanaan pemberian kompensasi dilaporkan oleh Menteri Keuangan disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi disampaikan kepada korban atau ahli warisnya
2.2.Mengenai Restitusi
Usulan FPG terkait hak restitusi yakni Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan oleh, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi, tersebut.Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan Pengajuan rehabilitasi FPG mengusulkan dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
FPD mengusulkan Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
FPD mengusulkan, agar pelaku memberikan restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonanPelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian disampaikan kepada korban atau ahli warisnya
2.3.Hak Hak lainnya
FPG juga mengusulkan mekanisme santunan bagi korban yang meninggal dunia lewat mekanisme Pemberian santunan yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban terorisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Santunan yang dimaksud Pasal 36 ayat (1) huruf d di atas merujuk pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 2014.
Usulan FPGERINDRA korban Tindak Terorisme juga berhak mendapatkan:
- Informasi lengkap mengenai kasus atau peristiwa yang mereka alami, termasukinformasi kepada keluarga korban;
- Surat keterangan sebagai korban dari lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban;
- Bantuan medis baik yang bersifat segera maupun perawatan lainnya dengan jaminan pembiayaan dari negara;
- Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis;
- Advokat atau bantuan hukum di setiap tahap pengadilan
- Penerjemahan dalam bahasa yang mereka pahami
- Privasi diri dan keluarganya
- Pendampingan selama masa penyelidikan, penyidikan dan pengadilan
- perlindungan sebagai saksi sesuai dengan ketentuan undang-undang
FPGERINDRA mengusulkan Negara memberikan jaminan kesejahteraan ekonomi dan sosial kepada korban Tindak Terorisme dalam bentuk pemberian kesempatan lapangan kerja; pemberian kesempatan pendidikan jaminan kesejahteraan ekonomi dan sosial akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah.
FPD mengusulkan, selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, korban Tindak Terorisme juga berhak mendapatkan:
- Informasi lengkap mengenai kasus atau peristiwa yang mereka alami, termasuk; informasi kepada keluarga korban;
- Surat keterangan sebagai korban dari lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan perlindungan dan pemulihan korban;
- Bantuan medis baik yang bersifat segera maupun perawatan lainnya dengan jaminan pembiayaan dari negara;
- Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis;
- Advokat atau bantuan hukum di setiap tahap pengadilan;
- Penerjemahan dalam bahasa yang mereka pahami
- Privasi diri dan keluarganya
- Pendampingan selama masa penyelidikan, penyidikan dan pengadilan
- perlindungan sebagai saksi sesuai dengan ketentuan undang-undang
Menurut FPD negara memberikan jaminan kesejahteraan ekonomi dan sosial kepada korban Tindak Terorisme dalam bentuk:Pemberian kesempatan lapangan kerja;Pemberian kesempatan pendidikan. Jaminan kesejahteraan ekonomi dan sosial diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah
FPD dan FPGERINDRA bahkan juga mengusulkan ketentuan bagi Setiap perusahaan asuransi dilarang menjual atau memasarkan polis asuransi yang mengecualikan kematian, luka-luka atau kerusakan akibat terorisme sebagi dasar untuk menolak klaim asuransi.
2.4.Mengenai Hak Rehabilitasi
FPDIP mengusulkan revisi atas hak rehabilitasi. Yakni dalam pasal 37 dan 38 terkait hak rehabilitasi yang dapat di putuskan oleh putusan praperadilan dan pengajuan rehabilitasinya dapat diajukan ke kementerian Hukum HAM. FPGERINDRA mengusulkan Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri yang berurusan dengan penyelenggaraan hukum. Sedangkan FPD menyatakan setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan. Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri yang berurusan dengan penyelenggaraan hukum.
2.5.Mengenai Hak bantuan Medis, Psikologis dan Psikososial
|