ICJR menilai beberapa kasus yang saat ini menimpa kepolisian tidak hanya dikarenakan oknum, melainkan kebijakan buruk yang berujung terbukanya peluang untuk polisi menjadi sewenang-wenang, kebijakan buruk itu kemudian ditambah dengan kewenangan besar minim pengawasan kepada kepolisian, salah satunya dalam kasus narkotika.
Narkotika kerap menjadi ladang subur praktik korup yang dilakukan oleh anggota polisi dalam bentuk peredaran maupun penjualan narkotika. Potret praktik penjualan narkotika oleh oknum polisi terekam jelas berdasarkan data yang dikumpulkan oleh KontraS bahwa sepanjang 2019 – 2022, terdapat 106 insiden Polisi terlibat dalam peredaran gelap narkotika, yang melibatkan 178 anggota polisi, tersebar pada semua level kantor polisi mulai dari Polsek (24 anggota) Polres (107 anggota) dan Polda (47 anggota) (Kontras, 2023). Diantara anggota polisi ini terdapat para petinggi, jenderal dan pimpinan satuan, diantaranya Irjen Teddy Minahasa (Mantan Kapolda Sumatera Barat), AKBP Dody Prawiranegara (Mantan Kapolres Bukittinggi), dan Kompol Kasranto (Mantan Kapolsek Kalibaru).
Fakta yang terungkap di persidangan, bahwa Irjen Teddy Minahasa meminta bayaran sejumlah Rp 100 (seratus) miliar untuk mengawal dan meloloskan sabu sebanyak 1 ton dari Taiwan. Hal ini membuat publik mempertanyakan pelaksanaan kewenangan dan akuntabilitas Polri dalam implementasi kebijakan narkotika. Hal tersebut memperlihatkan praktik penyalahgunaan kewenangan oknum polisi dengan memberikan perlindungan terhadap para bandar narkotika melalui pasar gelap yang tidak terkontrol dan diawasi oleh pemerintah.
Maraknya keterlibatan oknum polisi dalam kasus narkotika sayangnya tidak membuahkan langkah komprehensif untuk memutus akar masalah tersebut. Faktanya pasar narkotika dibiarkan marak dikendalikan oleh pasar gelap tanpa diregulasi secara komprehensif oleh pemerintah. Seandainya negara mengambil sikap untuk mengendalikan ketat regulasi pasar narkotika, pasar gelap tentu dapat ditekan kemunculannya.
Tak lain, salah satu pemicu adanya pasar gelap narkotika di Indonesia dikarenakan permasalahan mendasar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dimana secara normatif dan praktik UU Narkotika tidak memuat pemisahan yang tegas perlakuan antara pengguna dan pengedar narkotika, yang membuat pemerintah kehilangan fokusnya dalam mengatasi dan menangani permasalahan peredaran gelap narkotika di Indonesia, dan menjadikan kasus narkotika sebagai ladang transaksi ilegal, termasuk melibatkan aparat penegak hukum sendiri.
Pada prinsipnya polisi memiliki kewenangan yang besar dalam turut andil menangani perkara narkotika dari proses penangkapan penyelidikan dan penyidikan. Namun, terhadap kewenangan polisi yang demikian, dilakukan dengan minim pengawasan dan tidak iringi dengan penegakan yang optimal. Praktik buruk oleh anggota polisi ini ditandai dengan makin besarnya pasar narkotika yang tidak teregulasi, peredaran pasar gelap narkotika makin marak dikendalikan selain oleh pelaku kriminal juga dilakukan oleh aparat korup, termasuk anggota Polisi.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ICJR, mendesak:
Pertama, mendorong Komisi III DPR RI dan lembaga negara independen seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman untuk melakukan investigasi dan pengawasan mandiri untuk menekan Polri melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan narkotika yang koruptif;
Kedua, Pemerintah dan DPR harus segera memikirkan ulang kebijakan narkotika. Pasar gelap hanya akan dikendalikan aparat koruptif, tanpa negara hadir untuk mengatur. Kebijakan narkotika harus diperkuat dengan pendekatan kesehatan dan penguatan pendekatan pidana untuk kasus kejahatan terorganisir lintas negara.
Ketiga Pemerintah dan DPR segala melakukan evaluasi terkait kewenangan penegakan hukum, khususnya aparat kepolisian secara umum. Pembahasan UU Narkotika harus dilanjutkan dan pembahasan KUHAP harus dimulai.
Jakarta, 5 Desember 2024
Hormat Kami,
ICJR