Pada hari ini beberapa tokoh, baik dari kalangan profesional maupun partai politik, terlihat menghadiri undangan presiden Joko Widodo di Istana Negara. Hal ini seakan menjadi sinyal siapa saja wajah yang akan menduduki pos kementerian di pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi. Sebelumnya, pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi telah pidato kepresidenan dalam acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 yang digelar melalui Sidang Paripurna MPR RI. Namun, dalam pidato yang disampaikan Presiden Jokowi, tidak disebutkan pentingnya kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Padahal, kepastian hukum dan perlindungan HAM merupakan kondisi yang mutlak untuk menciptakan ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.
Perlindungan HAM, khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi dan hak untuk mendapatkan informasi, masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia yang harus dapat diselesaikan oleh siapapun nanti Menteri Komunikasi dan Informatika yang ditunjuk Presiden. Sebagai catatan, terdapat beberapa peristiwa yang menjadi catatan buruk perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia:
Pertama, kasus yang menimpa Baiq Nuril. Baiq Nuril didakwa melakukan transmisi/transfer rekaman yang memuat konten kesusilaan yang diatur pada Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus yang menimpa Baiq Nuril hanya merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus akibat pengaturan buruk UU ITE dan akhirnya berdampak pada penerapan yang lebih bermasalah sehingga memakan banyak korban.
Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), hingga 31 Oktober 2018, terdapat 381 orang di Indonesia dijerat atau dilaporkan telah melanggar UU ITE, khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Berdasarkan pantauan ICJR, selama tahun 2018-2019, terdapat sekurangnya 60 kasus yang berkaitan dengan UU ITE. Dalam kasus-kasus tersebut, terdapat beberapa contoh kasus penerapan UU ITE yang bermasalah, seperti kasus yang menimpa Ahmad Dhani, Robertus Robet, Dhandi Laksono, hingga Veronica Koman.
Beberapa pengaturan pidana dalam UU ITE masih bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan prinsip hukum pidana yang sebelumnya telah dikenal dalam KUHP. Selain itu, sebagian besar kasus dijerat atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal sebagian besar orang yang terjerat oleh kasus tersebut menyuarakan pendapatnya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan membela hak-hak rakyat kecil. Hak tersebut juga telah dijamin di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Kedua, pembatasan akses (throttling) internet dalam menanggapi aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun di Papua. Pembatasan yang menurut klaim pemerintah adalah semata-mata dilakukan untuk mencegah provokasi hingga penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian kepada masyarakat. Padahal sudah jelas, pembatasan akses internet jelas bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945.
Atas dasar hal tersebut, ICJR menekankan bahwa siapapun Menteri Kominfo terpilih memiliki tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah terkait perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia, yaitu:
Pertama, segera melakukan perubahan yang diperlukan terhadap UU ITE, termasuk di dalamnya menghapus seluruh pasal pidana yang duplikasi dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE serta mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Kedua, segera membuat aturan yang jelas terkait mekanisme pemblokiran internet sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005. Dalam Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia yaitu situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan kepala negara (dalam hal ini Presiden) harus mengeluarkan penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden. Aturan ini penting agar hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak lagi dilanggar.
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut https://icjr.or.id/15untukkeadilan