“Praperadilan adalah barang usang yang harus ditinggalkan, apapun taruhannya!” adalah sepenggal kalimat yang disampaikan oleh Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR, dihadapan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) Bandung, dalam sebuah acara Diskusi Publik bertema “Reformasi hukum acara dengan pembaharuan KUHAP : Praperadilan VS Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)”. Acara yang diselenggarakan pada hari Rabu, 13 November 2013 di Kampus FH Unpad buah kerjasama ICJR dengan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Pidana) FH Unpad menghadirkan pembicara mewakili ICJR, LBH Bandung dan Staff Pengajar Hukum FH Unpad.
Diskusi dimulai dengan pemaparan yang menunjukkan bagaimana kecilnya efektifitas Praperadilan sebagai lembaga komplain upaya paksa, terutama penahanan dan penangkapan pra-persidangan, berdasarkan data hasil riset yang dimiliki oleh ICJR, dari 80 putusan praperadilan yang diprofiling, hanya 2 permohonan diantaranya yang dikabulkan oleh hakim tunggal praperadilan, sisanya ditolak dan sebagian gugur berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.
Praperadilan yang pada awalnya dianggap sebagai mahakarya yang diatur dalam KUHAP 1981 pengganti HIR, lambat laun dianggap tidak efektif dalam menjawab perlindungan Hak Asasi Manusia, dalam hal ini terkait posisinya sebagai mekanisme komplain terhadap upaya paksa di sistem peradilan pidana di Indonesia.
Agus Takariawan, , Pengajar Hukum Acara Pidana sekaligus Kepala Jurusan Hukum Acara FH Unpad, menyebutkan bahwa dinamisnya persoalan saat ini, mengakibatkan KUHAP tidak lagi memadahi, meski begitu, Agus Takariawan menyebutkan bahwa secara konsep praperadilan sudah baik, rutinitas penahan dan pengkapanlah yang mengakibatkan adanya celah yang melemahkan Praperadilan, sehingga praperadilan terlihat tidak efektif.
Destri, perwakilan dari LBH Bandung menyebutkan bahwa sebagai advokat, Praperadilan memang masih dirasakan jauh dari harapan keberadaannya, dirinya menyebutkan bahwa dalam KUHAP saat ini hak dari tersangka sangat minim terutama terkait dengan akses pada bantuan hukum, meskipun saat ini sudah ada UU Bantun Hukum. Sulitnya membuktikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penyidik adalah karena semua bukti dan saksi ada di pihak penyidik, sedangkan dalam hukum acara Praperadilan, pemohon dalam hal ini pihak dari tersangka adalah pihak pertama yang harus mendalilkan permohonannya.
Sifat Post Factum dari Praperadilan, hakim yang bersifat pasif, gugurnya permohonan praperadilan pada saat pokok perkara mulai disidangkan di PN, sampai dengan pengujian terbatas pada review administratif dan dasar yuridis, merupakan beberapa kesimpulan yang didapat dari diskusi ini terkait kelemahan Praperadilan sebagai mekanisme komplain dalam upaya paksa, terkhusus penangkapan dan penahana pra-persidangan. (Erasmus/ICJR)