[RILIS KOALISI] Presiden Harus Hentikan Narasi Penggunaan Kekerasan untuk Merespons Aksi Warga: Kekerasan Aparat Memakan Korban Anak

Atas kondisi penggunaan kekerasan untuk merespons aksi warga beberapa waktu belakangan ini, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) menyampaikan keprihatinan dan duka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga korban. Negara wajib memastikan penyelidikan yang cepat, menyeluruh, transparan dan independen, serta akuntabilitas untuk proses penanganan kasus yang dialami Andika Lutfi Falah dan anak lainnya.

Pada 25 hingga 31 Agustus 2025 di wilayah DKI Jakarta, Semarang, Bandung, DI Yogyakarta, Makassar, Palu dan sejumlah kota besar di Indonesia telah terjadi serangkaian penangkapan dan penahanan ratusan pelajar disertai laporan dugaan kekerasan dan ketiadaan akses pendampingan hukum. Di wilayah DKI Jakarta, Polda Metro Jaya dilaporkan telah melakukan penahanan terhadap 196 pelajar pada tanggal 25 Agustus 2025. Para pelajar tersebut kemudian dibebaskan pada tanggal 26 Agustus 2025.

Selanjutnya, pada 28 Agustus 2025, aparat kembali mengamankan 276 pelajar yang diduga hendak melakukan aksi menuju Gedung DPR RI. Pada 29 Agustus 2025, Andika Lutfi Falah (16), pelajar asal Tangerang, dilaporkan meninggal dunia usai aksi dengan luka berat di kepala dan diduga terkait kekerasan aparat. Di Semarang, sejumlah pelajar termasuk anak penyandang disabilitas ditangkap paksa dan baru dibebaskan tanggal 31 Agustus 2025 pada siang harinya.

Pelanggaran Hak Anak oleh Aparat Kepolisian dalam Proses Hukum

Penangkapan anak dalam konteks demonstrasi tentu menimbulkan pertanyaan penting mengenai sejauh mana aparat kepolisian berwenang melakukan tindakan tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak anak harus menjadi prioritas utama, mengingat mereka merupakan kelompok rentan dan membutuhkan pendekatan dan pendampingan hukum yang memadai. LBH Jakarta memperkirakan bahwa dari 370 orang yang ditangkap oleh Polda Metro Jaya, sebagian besar adalah pelajar atau masih berstatus anak di bawah umur.

Selain itu, berbagai dokumentasi oleh masyarakat sipil yang beredar di media sosial juga menunjukkan massa aksi yang mengalami penangkapan juga mengalami tindakan yang tidak semestinya oleh aparat kepolisian, misalnya dipaksa melepas pakaian. Tindakan memaksa orang untuk melepas pakaian dalam situasi penangkapan dan penahanan, apalagi terhadap anak tidak hanya invasif melainkan juga traumatis dan bernuansa mempermalukan mereka yang juga termasuk bentuk pelecehan. Jika aparat kepolisian mencurigai adanya dugaan “menyembunyikan senjata”, maka setelah pemeriksaan yang mengharuskan menanggalkan pakaian (strip search) seharusnya anak dan massa aksi yang ditangkap diperkenankan kembali untuk berpakaian dan untuk tidak dipermalukan lebih jauh.

LBH Semarang juga mengungkap bahwa anak di bangku sekolah dasar hingga anak dengan disabilitas juga mengalami penangkapan tanpa prosedur yang jelas dan melanggar hak-hak mereka. Pendampingan menemukan bahwa ada anak SD mengalami penangkapan tanpa surat penangkapan, serta anak tersebut ditahan lebih dari 30 jam yang juga tanpa disertai surat penahanan. Sedangkan, anak dengan disabilitas tuli dan bisu juga menjadi korban penangkapan tanpa memerhatikan kebutuhan akan akomodasi yang layak dalam proses hukum. Pelanggaran hak anak yang merupakan penyandang disabilitas ini adalah penahanan dilakukan tanpa juru bahasa isyarat maupun pendamping.

Hak Anak dalam Menyampaikan Pendapat dan Berkumpul secara Damai

Aliansi PKTA berpendapat bahwa setiap anak berhak untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai. Secara internasional, hak-hak tersebut dijamin dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 36/1990—meliputi kebebasan berekspresi (Pasal 13), berkumpul secara damai (Pasal 15), serta larangan penyiksaan dan perlakuan kejam (Pasal 37). Hukum nasional juga menegaskan perlindungan yang sama: Undang-Undang No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak melarang kekerasan dan diskriminasi terhadap anak; Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mewajibkan pendampingan hukum dan pendekatan keadilan restoratif pada setiap tahap proses; dan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang- Undang No. 5/1998 menegaskan larangan atas penyiksaan.

Selain itu, anak berada pada tahap pengasuhan tumbuh kembang, perkembangan psikososial dan berhak atas perlindungan khusus serta dukungan pemulihan—bukan perlakuan yang memperburuk kondisi fisik maupun mental. General Comment No. 37 menegaskan kewajiban negara memfasilitasi pertemuan damai dan mencegah kekerasan dalam penanganan aksi; General Comment No. 8 menolak seluruh bentuk pendisiplinan yang keras, kejam, atau merendahkan martabat. Sehingga praktik kekerasan, penahanan sewenang-wenang, serta pemeriksaan tanpa pendampingan terhadap anak bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.

Oleh karena itu, solusi yang tepat adalah mengembalikan anak ke lingkungan keluarga dan sekolah dan/atau lingkungan yang aman, menyediakan layanan pemulihan, memastikan bantuan hukum efektif, dan menata ulang tata kelola pengamanan aksi dengan perspektif perlindungan anak, responsif gender dan inklusif.

Kami mendesak:

1. Presiden RI untuk menghentikan narasi yang menormalisasi penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi, serta menginstruksikan jajaran pemerintah pusat/daerah dan POLRI untuk menjamin hak-hak anak menyatakan pendapat dan berkumpul sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan hukum nasional, termasuk menjamin keselamatan anak untuk tidak diikutsertakan dalam aktivitas yang membahayakan anak.

2. Kapolri, Polda Metro Jaya, Polda Jateng dan Polda Jatim:

  • Memberikan perlindungan kepada anak yang menyampaikan aspirasinya sebagaimana yang diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak dan UUD 45 pasal 28b ayat 2 yang menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi“;
  • Melakukan investigasi independen, imparsial, dan transparan atas dugaan penyiksaan/perlakuan kejam terhadap anak pada tanggal 25–31 Agustus 2025;
  • Menerapkan kepentingan terbaik bagi anak, menempatkan anak sebagai korban bukan sebagai pelaku kriminal dan menjamin pendampingan hukum dan kehadiran Pembimbing Kemasyarakatan pada setiap tahap pemeriksaan anak termasuk anak dengan disabilitas sesuai Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hentikan praktik pemeriksaan tanpa pendamping;
  • Memastikan adanya ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk memantau, mendampingi dan melaporkan kasus tanpa intimidasi.

3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Komisi Perlindungan Anak Indonesia:

  • Melakukan pemantauan terpadu, pendampingan keluarga, layanan pemulihan psikososial, serta edukasi hak anak di sekolah/komunitas; memastikan non- stigmatisasi terhadap anak yang terdampak.
  • Melakukan koordinasi dan edukasi dengan jajaran TNI dan POLRI untuk memastikan mekanisme pengamanan yang aman bagi anak, memastikan anak- anak yang ditangkap mendapatkan hak-haknya sesuai amanat undang-undang, dan memberikan prioritas pemulihan bersama keluarga, sekolah, panti.
  • Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) harus segera memberikan edukasi hak anak kepada siswa dan pengajar di seluruh sekolah, serta memastikan lingkungan bebas dari stigmatisasi dan segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan berbasis Kemendikdasmen juga harus mengecam keras brutalitas aparat yang merenggut nyawa anak dan memastikan hak anak untuk menyatakan pendapat dijamin tanpa intimidasi.
  • Kementerian Sosial memastikan dan memberikan bantuan berupa materil dan non materil kepada semua anak korban kekerasan sampai dengan proses pemulihan.

Jakarta, 2 September 2025

Hormat kami,

Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA)


Tentang Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA)

Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuandalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadapanak di Indonesia. Aliansi PKTA percaya bahwa kekerasan dapat dicegahdengankemitraan yang kuat dan upaya semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam perlindungan anak dari kekerasan.

Organisasi yang tergabung dalam Aliansi PKTA adalah: Aliansi Remaja Independen (ARI); ChildFund International di Indonesia; Ecpat Indonesia; Fatayat Nahdatul Ulama; Gugah Nurani Indonesia; HI-IDTL; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); ICT Watch; JPAI – The SMERU Research Institute; Kampus Diakonia Modern (KDM); MPS PP Muhammadiyah; Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); Plan International Indonesia; Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA); Rifka Annisa; Rutgers WPF Indonesia; SAMIN; SAHABAT ANAK; SEJIWA; Setara; SOS Village; Wahana Visi Indonesia (WVI); Yayasan Puli; Yayasan Save The Children Indonesia (YSTC Indonesia); Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC); Youth Network on Violence Against Children (YNVAC); Yayasan KAKAK; Yayasan PLATO ; Yayasan KKSP; Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata; Jala Samudera Mandiri.

Narahubung Presidium Aliansi: ChildFund International Indonesia, ICT-Watch, ICJR, Plan International Indonesia, Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Wahana Visi Indonesia

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Kegiatan
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Pengadaan
  • Publikasi
  • Rilis Pers
  • Special Project
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top