Dalam beberapa waktu terakhir, serangkaian peristiwa menunjukkan merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Aksi warga yang mengepung kantor kepolisian di Indramayu, Lampung Tengah, Karawang, dan Semarang merupakan respons terhadap dugaan praktik yang menyimpang seperti pemerasan dan tidak transparannya polisi dalam penanganan kasus pidana.
Di Polsek Cikedung, Indramayu, pada April 2025, masyarakat mempertanyakan keputusan aparat yang melepaskan pelaku pencurian meskipun tindak pidana yang dituduhkan adalah delik biasa. Hal serupa juga terjadi di Lampung Tengah pada Maret 2024, pelaku pencurian kendaraan bermotor diduga dilepaskan dalam waktu singkat tanpa proses hukum yang jelas, sehingga menimbulkan protes keras dari warga.
Protes tersebut tidak hanya berhenti pada penanganan perkara yang dianggap tidak akuntabel, tetapi juga menyasar pada dugaan penyalahgunaan wewenang. Di Karawang, warga mengepung kantor Polsek Tirtajaya pada November 2024 setelah muncul tuduhan bahwa aparat melakukan pemerasan terhadap dua warga yang dituduh melakukan tindak pidana tanpa bukti sah. Sementara di Semarang, pada Januari 2025, dua anggota polisi hampir menjadi sasaran amuk massa setelah tertangkap diduga memeras sepasang warga. Rentetan peristiwa ini menunjukkan adanya permasalahan besar dalam institusi kepolisian yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan polisi utamanya dalam penanganan kasus pidana.
Serangkaian peristiwa ini menunjukkan ketiadaan ruang keberatan atau komplain yang tersedia dalam sistem yang memadai, sehingga membuat warga mengambil jalur protes dan marah.
Berbagai survei dan laporan tahunan menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2025 mencatat bahwa kepolisian menjadi institusi dengan tingkat kepercayaan publik terendah, hanya sebesar 63%. Selain itu, laporan tahunan Ombudsman 2023 menunjukkan bahwa kepolisian menduduki posisi ketiga sebagai kelompok yang paling banyak dilaporkan masyarakat terkait masalah pelayanan publik, dengan 674 laporan atau 7,97% dari total 8.458 laporan yang diterima. Laporan dari Komnas HAM RI menujukkan hasil yang lebih memprihatikan, pada 2023, kepolisian menjadi pihak yang paling banyak diadukan, dengan 771 aduan dari total 2.753 aduan yang diterima, lebih tinggi dibandingkan korporasi dan pemerintah.
Ruang komplain atau keberatan terhadap pelaksanaan proses hukum oleh polisi yang tersedia oleh sistem peradilan pidana saat ini hanyalah dengan gugatan praperadilan. Praperadilan pun sama sekali belum dapat menjadi sandaran bagi korban pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil untuk meminta akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh tindakan polisi utamanya dalam melakukan upaya paksa. Objek praperadilan terbatas pada menguji upaya paksa, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan ganti kerugian salah tangkap. Tak ada ruang uji dalam hal polisi membebaskan begitu saja orang yang ditangkap namun dilepaskan tanpa dasar, tak bisa menguji apabila pada masa penangkapan dilakukan pemerasan, hingga sama sekali tak bisa menguji apabila perkara dihentikan di penyelidikan, yang hanya menjadi monopoli polisi.
Sudahlah objeknya terbatas, pemeriksaan sidang praperadilan masih mengandung banyak kekurangan, mulai dari prosesnya yang baru dapat dilakukan setelah pelanggaran prosedur upaya paksa dilakukan (post factum), hanya memeriksa hal-hal yang bersifat formil, hingga proses pemeriksaannya yang hanya berlangsung 7 (tujuh) hari dan akan gugur dalam hal perkara pokoknya sudah mulai diperiksa dilimpahkan ke penuntutan.
Ketiadaan mekanisme ruang komplain atau keberatan yang tersistem, selain mendorong aksi massa seperti kepung kantor polisi, juga mendorong lahirnya gerakan “no viral, no justice” di ruang digital. Misalnya yang baru-baru ini juga terjadi, seorang anak mengunggah konten jual ginjal untuk dapat memberikan jaminan agar ibunya tidak ditahan dalam proses hukum.
Kepung kantor polisi ataupun mengadu ke media sosial menjadi alternatif utama dalam memperjuangkan keadilan, bukan bergantung pada sistem peradilan pidana. Tindakan aparat yang dianggap menyalahgunakan wewenang atau tidak profesional sering kali baru mendapatkan perhatian publik setelah menjadi viral. Hal ini menandakan kekosongan dalam akses keadilan yang seharusnya tersedia bagi korban dari proses hukum.
Protes fisik ataupun media sosial menjadi satu-satunya saluran yang memungkinkan untuk menuntut pertanggungjawaban aparat, meskipun tidak jarang tindakan tersebut justru membawa potensi kerugian lebih lanjut bagi korban sendiri.
Tren penggunaan media sosial sebagai saluran pengaduan publik terkait kinerja institusi kepolisian berkembang melalui tagar-tagar seperti #PercumaLaporPolisi dan #1hari1oknum. Kedua tagar ini muncul sebagai respons atas berbagai kasus yang penyalahgunaan wewenang, impunitas, dan tidak adanya akuntabilitas dalam proses hukum. Gerakan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin tidak percaya pada efektivitas mekanisme hukum formal yang dinilai tidak responsif terhadap laporan yang tidak disorot publik.
Hal ini menandakan kebutuhan mendesak akan reformasi sistem peradilan pidana yang akuntabel, yang jantung utamanya ada pada pembahasan RUU KUHAP, yang saat ini dibahas pemerintah dan DPR. Namun, alih-alih memperbaiki keterbatasan ruang komplain atau keberatan ke pengadilan secara tersistem, RUU KUHAP 2025 justru memperkuat pola lama yang tidak menjamin adanya pengawasan pengadilan yang efektif.
Ketentuan mengenai praperadilan dalam RUU KUHAP 2025 tidak mengalami perubahan berarti—baik dari sisi objek, subjek, maupun mekanismenya. Bahkan, dalam Pasal 149 Ayat (1) Huruf a, RUU KUHAP 2025 mengecualikan upaya paksa yang dilakukan atas dasar izin ketua pengadilan negeri dari objek praperadilan. Selain itu, proses pemeriksaan yang hanya formil, waktu penyelesaian yang sangat singkat (7 hari), dan terbatasnya pihak yang dapat mengajukan praperadilan juga masih tetap dipertahankan.
Selain itu, RUU KUHAP 2025 menghapus total konsep hakim pemeriksa atau hakim komisaris—suatu langkah mundur dari semangat reformasi yang sempat muncul dalam draf RUU KUHAP 2012. Akibatnya, tidak ada instrumen baru yang menjamin kehadiran pengawasan pengadilan secara substantif untuk setiap keputusan yang diambil oleh polisi dalam proses pidana.
Hal ini menegaskan bahwa RUU KUHAP 2025 masih gagal menjawab krisis kepercayaan terhadap sistem peradilan pidana, serta abai terhadap kebutuhan mendesak akan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum.
Oleh karena itu, merespons permasalahan ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian, ICJR menyerukan satu hal:
Pemerintah dan DPR perlu menjadikan revisi KUHAP sebagai momentum untuk membenahi sistem peradilan pidana utamanya penyelidikan dan penyidikan secara menyeluruh.
Penyusunan dan pembahasan RKUHAP ini harus diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat sipil melalui pembentukan mekanisme pengawasan yang independen, tidak hanya pengawasan internal kepolisian, hal ini diwujudkan dengan adanya konsep judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan melalui kehadiran hakim komisaris, yang menguji setiap tindakan polisi dalam proses hukum dan dapat menerima komplain atau keberatan terhadap setiap pelanggaran proses peradilan pidana.
Jakarta, 18 April 2025
Hormat Kami,
ICJR