Sidang Paripurna DPR RI 12 April 2022 Mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Apa Pentingnya UU ini?
Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa, 12 April 2022 mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, setelah sebelumnya RUU ini disahkan oleh Panitia Kerja RUU TPKS Badan Legislatif DPR RI dan Pemerintah dalam pembahasan tingkat pertama Rabu, 6 April 2022.
Pengesahan UU TPKS ini punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif.
UU TPKS ini memiliki 93 Pasal, dan 12 Bab. Menjangkau materi mengenai: 1) Ketentuan Umum, 2) Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual, 3)Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, 4) Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan 5) Hak Korban, Keluarga Korban dan Saksi 6) Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat dan Daerah, 7) Pencegahan, Koordinasi dan Pemantauan, 8) Partisipasi Masyarakat dan Keluarga, 9) Pendanaan, 10) Kerja sama internasional, 11) Ketentuan Peralihan, 12) Ketentuan Penutup
Lantas mengapa UU ini begitu penting dan berdaya guna untuk korban kekerasan seksual?
UU ini penting karena menekankan asas pengaturan tindak pidana kekerasan seksual berdasar pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Pasal 2 UU TPKS), serta tujuan utama pengaturan kekerasan seksual yang berorientasi pada korban (Pasal 3), yang mana hal ini tidak pernah dimuat dalam UU lain.
Dalam bahasan tentang tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 4-14), UU TPKS menjangkau seluruh ketentuan dalam UU lain yang berdimensi kekerasan seksual di Indonesia, yang mana menjadi subjek dari UU ini. Hal ini merupakan kebaruan yang sangat patut diapresiasi. Sebelum UU ini, pengaturan soal kekerasan seksual terpisah-pisah dalam beberapa UU, misalnya KUHP, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO) dan UU Pornografi, yang mengatur hukum acara dan hak korban namun bergantung pada pasal yang digunakan dalam UU tersebut. Ada pula peraturan yang tidak mengakomodasi hak korban dan hukum acara yang berorientasi pada korban, misalnya pemaknaan perkosaan dan perbuatan cabul dalam KUHP yang menyulitkan proses pembuktian. UU TPKS yang disahkan mewadahi semua bentuk kekerasan seksual, yang menjamin hak korban dan hukum acara secara padu dalam UU ini.
Secara substansi UU TPKS mengatur hak yang jauh lebih komprehensif, menjangkau seluruh aspek yang dibutuhkan mulai dari hak prosedural dalam penanganan, hak perlindungan yang menjamin perlakuan aparat penegak hukum yang tidak merendahkan korban ataupun menyalahkan korban, dan hak pemulihan dalam bentuk Rehabilitasi medis; Rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial(Pasal 67-70 UU TPKS); Restitusi, Kompensasi hingga Dana Bantuan Korban yang berusaha keras menjamin efektifnya pemulihan bagi korban (Pasal 30-38), Pelayanan untuk korban pun dijamin untuk diselenggarakan secara terpadu (Pasal 73-75 UU TPKS). Juga terdapat pengaturan hak korban spesifik untuk kekerasan seksual siber yang memerlukan respon cepat dalam penghapusan konten (Pasal 47 UU TPKS)
Dalam bahasan hukum acara pidana, banyak pengaturan progresif yang diperkenalkan, adanya jaminan visum dan layanan kesehatan yang diperlukan Korban secara gratis (Pasal 87 ayat (2) UU TPKS), Aparat Penegak Hukum yang harus berperspektif korban (Pasal 21 UU TPKS), Alat bukti yang mengarusutamakan penggunaan visum psikiatrikum ataupun pemeriksaan psikologis korban (Pasal 24 UU TPKS), jaminan pendampingan korban, termasuk untuk saksi/korban difabel (Pasal 26 & 27 UU TPKS). Restitusi dan Kompensasi hingga Dana Bantuan Korban yang berusaha menjamin efektifnya pemulihan bagi korban (Pasal 30-38), kemudahaan pelaporan, tidak hanya pada penyidik namun juga lembaga layanan (Pasal 39), perintah perlindungan jika dibutuhkan (Pasal 42), dan beberapa ketentuan pelaksanaan pemeriksaan yang berorientasi pada korban.
Sedari awal pembahasan RUU TPKS di 2018, keseluruhan pembaruan ini telah disuarakan oleh ICJR, IJRS dan Puskapa. Kami memberikan masukan dan mengarusutamakan pentingnya kebaruan dalam RUU TPKS: pada aspek pidana memastikan bahwa seluruh ketentuan pidana dalam UU lain yang berdimensi kekerasan seksual sebagai subjek dari UU ini, pada aspek hukum acara menjamin sistem peradilan yang berorientasi pada korban dan memberikan kemudahan pada korban, dan aspek penguatan hak korban yang menjangkau substansi hak yang dikuatkan.
Keberadaan UU TPKS ini penting, untuk itu pekerjaan rumah selanjutnya adalah mengawal implementasi UU ini agar dapat juga bermanfaat bagi korban sebagaimana rumusannya.
Jakarta, 12 April 2022
Hormat Kami
ICJR
IJRS
Puskapa
Artikel Terkait
- 10/05/2023 Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP): Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH
- 05/12/2022 Keadilan bagi Perempuan Pengguna Narkotika Korban Kekerasan Seksual Berdasarkan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- 04/07/2022 IJRS, ICJR, Puskapa: Urgensi Perbaikan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual pada Kepolisian
- 01/05/2023 Aliansi PKTA Dorong Mahkamah Agung dan Kepolisian Merespon Potensi Terjadinya Manipulasi dan Kekerasan Seksual Orang Dewasa terhadap Anak dalam Kasus Penganiayaan D
- 09/03/2023 Advocacy for Equity in Service Responses for Women who Use Drugs as Survivors of Gender Based Violence Based on TPKS Law
Related Articles
Perlindungan bagi Saksi, korban, whistleblower dan Pelaku yang bekerja sama, belum Maksimal
Hari ini Komisi III DPR kembali melanjutkan pembahasan RUU Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
ICJR Ingatkan Pemerintah dan DPR, RUU Terorisme Harus Perhatikan Hak Korban
Pasca Bom Sarinah pada Januari 2016, Pemerintah menyatakan Indonesia membutuhkan perubahan terhadap UU Terorisme, dengan alasan untuk melindungi warga negara
ICJR Appreciates Jambi High Court Decision to Release Minor Rape Victim
When the Jambi High Court weighed the force majors in its ruling, it displayed that the Panel of Judges when