Kepada Yth: Bapak. Muhammad Syafii
Ketua Pansus RUU Terorisme
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Jl. Gatot Subroto, Senayan
Jakarta, 10270,
Indonesia
Amnesty International dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuliskan surat ini untuk menyatakan keprihatinan mendalam kami akan rancangan revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003). Pengumuman rencana amandemen UU tersebut dibuat sesaat setelah terjadinya serangan yang penuh kekerasan pada sebuah daerah bisnis di Jakarta Pusat pada Januari tahun ini yang menewaskan empat warga sipil dan melukai 20 orang lainnya.
Kami mengakui bahwa pihak berwenang Indonesia memiliki tugas untuk melindungi warga dari serangan-serangan semacam itu, dan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan agar bisa membawa para pelakunya ke muka hukum dalam peradilan yang adil tanpa menggunakan hukuman mati. Namun demikian, dalam melakukannya, aparat hukum di Indonesia harus menaati kewajiban-kewajiban internasional Indonesia dan standar-standar hak asasi manusia (HAM). Menurut pandangan kami, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat cacat, khususnya karena draf ini mengabaikan jaring perlindungan terhadap penahanan yang sewenang wenang, gagal dalam memberikan perlindungan terhadap tindak penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, memperluas cakupan hukuman mati, dan mengabaikan hak seseorang untuk tidak sewenang – wenang dicabut hak kewarganegaraannya. Kami mendesak Anda untuk merevisi draf RUU ini secara menyeluruh sebelum tim Anda menyetujui finalisasi draft dalam beberapa bulan ke depan.
Memperpanjang Masa Penahanan Pra Persidangan Tanpa Pengawasan Yudisial dan Penahanan “Administratif”
Dalam RUU tersebut, perubahan terhadap Pasal 28 menyediakan ketentuan di mana polisi bisa menangkap seseorang sebelum dijadikan tersangka diperpanjang dari tujuh hari menjadi 30 hari (sementara untuk tindak pidana umumnya hanya satu hari). Begitu menjadi tersangka dan dikenai ancaman pidana, seseorang bisa ditahan untuk periode penahanan lainnya hingga sejumlah 510 hari (atau 16,7 bulan) sebelum dibawa ke persidangan (berarti secara total seseorang bisa ditahan sebanyak 540 hari sesaat ia ditahan). Dari total masa penahanan tersebut, 210 harinya orang tersebut bisa ditahan di bawah otoritas satu-satunya dari kepolisian. Selanjutnya, polisi bisa meminta perpanjangan masa penahanan dari jaksa penuntut dan pengadilan, tetapi dalam periode ini orang tersebut tetap tidak dibawa ke hadapan seorang hakim. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003) yang berlaku saat ini, seorang tersangka bisa ditahan hingg enam bulan sebelum dibawa ke muka persidangan.
RUU ini juga memberikan kekuasaan suatu penahanan ‘administratif’ kepada institusi penegakan hukum agar bisa menangkap mereka yang yang dianggap melakukan suatu tindak pidana terorisme dan menempatkan mereka di dalam suatu tempat penahanan ‘tertentu’ dalam waktu hingga enam bulan; yang disebut dalam RUU sebagai upaya “pencegahan” tindak pidana terorisme, tanpa suatu niat untuk mengeluarkan suatu ancaman pidana terhadap orang tersebut. Pasal 43A dari RUU tersebut menyebutkan bahwa “Dalam rangka penanggungalangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan”. Tidak ada ketentuan dalam RUU tersebut yang menyebutkan bagi mereka yang ditahan dengan cara demikian untuk memiliki akses terhadap seorang pengacara atau anggota keluarganya, atau layanan kesehatan. Pasal itu menyatakan mereka ditahan di berdasarkan kewenangan penyidik atau penuntut umum tanpa adanya suatu pengawasan yudisial.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum ataupun akses terhadap advokat/pengacara dan berkomunikasi dengan dunia luar akan membuat seseorang – yang dituduh melakukan suatu tindak pidana – bisa melindungi hak-hak mereka, termasuk hak untuk menguji keabsahaan penahanan mereka, dan menyediakan pengamanan penting dari tindak penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, “pengakuan” paksa, penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM lainnya. Pengawasan yudisial terhadap penahanan yang menjamin para tahanan tidak di bawah kendali satu-satunya otoritas yang menahan mereka juga menyediakan pengamanan dari pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut dan juga dari penahanan sewenang – wenang
Penahanan ‘administratif’ semacam ini bisa membuat pihak berwenang untuk menahan mereka yang diduga menjadi tersangka tanpa mengeluarkan ancaman pidana atau mengadili mereka di muka persidangan, dan akan mencegah mereka untuk menguji keabsahan penahanan mereka di muka persidangan.
Penyiksaan dan Perlakuan Buruk Lainnya
Kami juga masih prihatin bahwa penyiksaan dan tindak pidana perlakuan buruk lainnya tidak dikriminalisasikan di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lainnya, meski Indonesia adalah suatu Negara Pihak dari Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat. Berdasarkan Pasal 14 Konvensi ini, , Indonesia harus memastikan bahwa semua tindak penyiksaan harus dikriminalisasi berdasarkan ketentuan hukum pidananya. Indonesia juga diwajibkan oleh hukum internasional untuk memastikan bahwa pernyataan-pernyataan atau bentuk barang bukti lainnya yang diambil sebagai hasil suatu tindak penyiksaan, perlakukan buruk, atau bentuk lain paksaan dikeluarkan sebagai suatu barang bukti di segala proses hukum, kecuali mereka diajukan untuk melawan para pelaku pelanggaran HAM tersebut (sebagai bukti bahwa pernyataan mereka dibuat lewat suatu pelanggaran HAM).
Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya secara absolut dilarang di bawah hukum kebiasaan internasional di segala masa. Tidak ada kondisi pengecualian, termasuk ancaman terorisme dan kejahatan-kejahatan kekerasan, yang bisa digunakan untuk membenarkan diabaikannya ketentuan larangan absolut ini.
Amnesty International dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah mendokumentasikan kasus-kasus di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tentang penangkapan semena-mena yang dilanjutkan dengan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya selama penangkapan, penahanan, dan interogasi oleh kepolisian, termasuk oleh unit khusus anti-terorisme Densus (Detasemen Khusus) 88. Namun demikian, sangat jarang ada investigasi yang independen dan imparsial terhadap tuduhan-tuduhan semacam itu, dan para pelaku tidak dibawa ke muka hukum. Secara khusus, organisasi-organisasi kami prihatin bahwa pada April 2016, Jenderal Badrodin Haiti – saat itu adalah Kapolri – mengkonfirmasi bahwa anggota-anggota Densus 88 menendang seorang tersangka di dadanya, mematahkan tulang rusuknya, dan membuat jantunya gagal bekerja. Meski adanya konfirmasi penggunaan penyiksaan, para pelaku, yaitu dua anggota Densus 88, menerima hanya hukuman administratif setelah menghadapi suatu sidang internal kepolisian pada Mei 2016.
RUU ini harus memiliki sebuah ketentuan yang secara eksplisit menjelaskan bahwa tidak ada satu pun ketentuan di dalam undang-undang ini yang ditafsirkan atau diterapkan dengan cara melanggar atau tidak konsisten dengan kewajiban-kewajiban HAM internasional Indonesia, khususnya terkait larangan absolut penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Memperluas Cakupan Hukuman Mati
UU No. 15/2003 telah menyediakan ketentuan hukuman mati bagi “setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan korban yang bersifat massalatau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, menggunakan senjata kimia atau biologis, memasukan suatu senjata api atau bahan peledak secara ilegal ke dalam Indonesia untuk digunakan dalam tindak pidana terorisme atau bagi seseorang yang merencanakan atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme”.
Proposal dalam RUU – jika disetujui – akan menambahkan cakupan penggunaan hukuman mati bagi mereka yang dengan sengaja menggerakan orang lain (Pasal 14) untuk melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat, atau jika perbuatan tersebut dimaksudkan untuk meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerah lain. Ketentuan-ketentuan ini bisa mencakup tindak kejahatan yang tidak memiliki intensi pembunuhan dan karenanya tidak memenuhi ambang batas “kejahatan-kejahatan paling serius” di mana penggunaan hukuman mati bisa diterapkan secara ketat oleh standar dan hukum internasional.[1]
Lebih lanjut, perluasan cakupan penggunaan hukuman mati juga melanggar standar-standar internasional tentang hukuman mati. Komite HAM PBB telah menyatakan bahwa perluasan cakupan penggunaan hukuman mati “menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang kesesuaiannya dengan Pasal 6 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik” dan pada 2005 Komisi HAM PBB menyerukan kepada semua negara yang masih mempertahankan hukuman mati “untuk tidak memperluas cakupan penggunaannya kepada kejahatan-kejahatan saat ini belum berlaku”.[2]
Hak untuk Tidak Secara Sewenang – Wenang dicabut Kewarganegaraannya
Sebuah amandemen ketentuan di dalam RUU ini akan memberikan kekuasaan kepada pihak berwenang untuk mencabut kewarganegaraan seorang Warga Negara Indonesia, yang terlibat dalam segala bentuk pelatihan yang bertujuan kepada tindak pidana terorisme. Kewarganegaraan sendiri adalah suatu hak asasi manusia, dan dicantumkan dalam Pasal 15 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mengafirmasi bahwa setiap orang memiliki hak terhada suatu kewerganegaraan, dan tidak ada satu pihak manapun yang bisa secara semena-mena merampas hak atas kewarganegaraan tersebut. Lebih lanjut, terdapat berbagai hak-hak lain yang berasal dan bergantung dari hak atas kewarganegaraan, secara khusus kepemilikan hak kewarganegaraan suatu negara menyediakan hak untuk memasuki dan berdiam di negara tersebut, dan merupakan jaminan yang kuat terhadap pengusiran ke negara lain di mana orang itu bisa menghadapi resiko penyiksaan atau pelanggaran HAM serius lainnya. Dalam hal apapun, tidak ada seorang pun yang boleh secara semena-mena dicabut haknya untuk memasuki atau berdiam di negaranya sendiri.
Karena Indonesia tidak memperbolehkan warga negaranya untuk memiliki kewarganegaraan ganda, hal ini juga berarti bahwa semua orang yang dicabut kewarganegaran Indonesianya akan menjadi orang tanpa kewarganegaraan. Hal ini bertentangan dengan kewajiban negara-negara untuk menghindari seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan, sebuah prinsip dasar yang telah diakui menjadi suatu norma hukum kebiasaan internasional, dan secara khusus untuk tidak membuat seseorang kehilangan kewarganegaraan yang membuatnya menjadi tanpa kewarganegaraan.
Rekomendasi
Kami kami mengakui bahwa dalam beberapa tahun belakang ini ada beberapa serangan-serangan kekerasan berbasis suatu ideology tertentu terhadap warga di Indonesia. Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak atas hidup dari warga tersebut, tetapi serangan-serangan keji belakangan ini tidak bisa digunakan untuk membuat situasi HAM mundur atas nama keamanan, dan adalah penting sekali bahwa upaya-upaya penanggulangan tindak pidana terorisme dilakukan secara proporsional. Penting dalam perubahan tersebut untuk mengadopsi sebuah pendekatan yang menghormati HAM dan supremasi hukum.
Oleh karena itu, kami mendesak Anda sebagai Ketua Pansus Terorisme DPR RI untuk mengambil langkah-langkah berikut ini:
n Memastikan bahwa amandemen dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sesuai dengan hukum dan standar-standar internasional, khususnya dengan kewajiban-kewajiban Indonesia di bawah hukum kebiasaan internasional dan hukum-hukum HAM di mana Indonesia menjadi Negara Pihaknya;
n Memastikan bahwa UU tersebut tidak mengizinkan pihak berwenang mana pun untuk menahan seseorang kecuali orang itu dikenakan ancaman pidana secara segera dan diadili dalam waktu yang wajar;
n Memastikan bahwa UU ini menyediakan ketentuan bahwa para tahanan tidak dibatasi aksesnya terhadap pengacara, dan ada pemberitahuan cepat dan hubungan rutin dengan anggota keluarga mereka atau pihak ketiga yang dipilih mereka, sebagai cara pengawasan penting dari keselamatan diri mereka dan kondisi penahanan mereka;
n Memastikan bahwa UU ini diamandemen dengan memasukan pernyataan yang eksplisit bahwa tidak ada satu pun ketentuan di dalam undang-undang ini yang ditafsirkan atau diterapkan dengan cara melanggar atau tidak konsisten dengan kewajiban-kewajiban HAM internasional Indonesia, khususnya terkait larangan absolut penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. UU ini juga harus memasukan sebuah ketentuan yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan atau bentuk barang bukti lainnya yang diambil sebagai hasil suatu tindak penyiksaan, perlakukan buruk, atau bentuk lain paksaan dikeluarkan sebagai suatu barang bukti di segala proses hukum, kecuali mereka diajukan melawan para pelaku pelanggaran HAM tersebut (sebagai barang bukti bahwa pernyataan mereka dibuat lewat suatu pelanggaran HAM);
n Memastikan bahwa ketentuan-ketentuan yang memperluas cakupan penggunaan hukuman mati disingkirkan, dan menerapkan sebuah moratorium terhadap eksekusi mati, mengubah vonis mati yang ada, dan membawa undang-undang yang memiliki hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar-standar internasional sebagai langkah pertama menuju penghapusan penuh hukuman mati;
n Memastikan bahwa ketentuan-ketentuan yang mencabut kewarganegaraan disingkirkan atau secara mendasar diubah sehingga memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa dicabut kewarganegaraannya yang membuatnya menjadi tanpa kewarganegaraan atau pencabutan kewarganegaraannya secara semena-mena lainnya.
Terima kasih atas perhadian Anda.
Amnesty International, Kantor Asia Tenggara dan Pasifik
dan
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
[1] Pasal 6(2) dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR); Pengamanan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati PBB yang disetujui oleh Resolusi 1984/50 dari Dewan Ekonomi dan Sosial tertanggal 25 Mei 1984, Pengamanan No. 1; Komite HAM PBB, Komentar Umum 6; Laporan Pelapor Khusus tentang Eksekusi Ekstrayudisial, Sumir, atau Semena-Mena, A/67/275 (2012), paragraf 122.
[2] Komite HAM PBB, Kesimpulan Observasi terhadap Peru, UN document CCPR/C/79/Add.67, 25 Juli 1996, para.15. Lihat juga Komisi HAM PBB, Resolusi 2005/59 tertanggal 20 April 2005.