TEMPO Interaktif, Jakarta – Tiga lembaga kajian dan advokasi hukum menyampaikan pendapat hukum (amicus curiae) dalam perkara yang menjerat Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada, yang kini memasuki tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.
Ketiga lembaga itu adalah Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat.
Senior Associate ICJR Indonesia, Anggara Suwahju, mengatakan ketiga lembaga itu mengajukan amicus curiae agar Mahkamah Agung melihat kasus Playboy Indonesia secara komprehensif.
Menurut Anggara, kasus majalah Playboy Indonesia, yang menyeret Erwin Arnada ke pengadilan, tidak bisa serta-merta dilihat dari satu sisi nilai. “Harus dilihat dari keseluruhan nilai dan kontennya,” kata Anggara di Jakarta kemarin.
Ketiga lembaga memasukkan berkas amicus curiae ke Mahkamah Agung pada Jumat lalu. Adiani Viviana dari ICJR mengatakan, Senin lalu mereka telah memastikan bahwa amicus curiae sudah sampai ke meja para hakim agung.
Lewat amicus curiae, ketiga lembaga itu ingin memberi pandangan kepada majelis hakim agung yang akan memutuskan perkara pidana kesusilaan tersebut. Dalam memberi pandangan, ketiga lembaga itu memakai uji kebahayaan (harm test), penilaian masyarakat umum, serta prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sebagai patokan.
Dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan Erwin Arnada bersalah dan melanggar Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kesusilaan. Majelis kasasi MA pun menjatuhkan vonis dua tahun penjara.
Di tingkat pertama, jaksa mendakwa Erwin dengan pasal kesusilaan dan menuntut dia dihukum dua tahun penjara. Tapi, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2007, Erwin dibebaskan.
Konsep amicus curiae berasal dari tradisi Romawi. Konsep ini mengizinkan pengadilan mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan kasus-kasus yang jarang terjadi.
Di Indonesia, amicus curiae belum banyak digunakan. Dalam kasus kebebasan berekspresi, baru tiga amicus curiae yang diajukan ke pengadilan, yakni kasus majalah Time melawan Soeharto, kasus Upi Asmaradana, dan kasus Prita Mulyasari.
Pengajuan amicus curiae di Indonesia mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu berbunyi, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Dasar hukum amicus curiae lainnya adalah Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan, “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.”
ANNISA ANINDITYA