Siaran Pers Bersama
ICJR, YLBHI, ELSAM, IMDLN
Pemutaran percakapan antara Anggodo Widjoyo dengan beberapa orang yang diduga pejabat penegak hukum di Indonesia di Mahkamah Konstitusi masih menyisakan beberapa permasalahan hukum. Selain masalah otentisitas suara, persoalan keabsahan dan dasar hukum penyadapan juga merupakan hal belum terselesaikan. Persoalan ini dilatarbelakangi belum lengkapnya hukum acara yang mengatur mengenai penyadapan. Sampai saat ini hanya UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang secara eksplisit mengatur mengenai penyadapan ini.
Pasal 31 UU ITE (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronikdalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukanintersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidakbersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentumilik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yangmenyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian InformasiElektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan : Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. |
Ketentuan pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mempunyai dua maksud; pertama, penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Kedua, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum. Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan UU.
Dalam konteks permintaan penegak hukum untuk melakukan penyadapan dalam rangka penegakan hukum, adalah terkait dengan perkara-perkara pidana yang harus mengacu pada hukum acara pidana. Oleh karenanya, permintaan penyadapan dan tata caranya haruslah diatur dalam hukum acara pidana atau suatu regulasi yang setara dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan larangan untuk melakukan penyadapan sebagaimana ayat (1) dan (2) UU ITE yang melarang penyadapan.
Bahwa justru dalam pasal 31 ayat (4) memandatkan penyadapan sebagaimana pasal 3 1 ayat (3) diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Padahal, apa yang hendak diatur dalam PP tersebut adalah mengenai tata cara penyadapan dalam rangka penegakan hukum, sehingga seharusnya diatur dalam UU Hukum Acara Pidana yang mengatur tata cara penyadapan untuk penegakan hukum dalam perkara pidana.
Ketentuan Penyadapan/Intersepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengamanatkan bahwa ketentuan penyadapan harus diatur dalam PP haruslah ditolak karena akan sangat mengancam perlindungan hak atas kebebasan pribadi yang dijamin dalam konstitusi dan juga ketentuan perundang – undangan lainnya di bidang hak asasi manusia.
Sesuai dengan Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasiuntuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untukmencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikaninformasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Demikian juga dengan pasal 28G ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atasrasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atautidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Berdasarkan pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
Demikian juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005, yang dalam pasal 17 ayat (1) Kovenan tersebut menyatakn menyatakan tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumahtangganya atau surat-menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah. Ayat (2) menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau pencemaran kehormatan demikian.
Kedua instrumen HAM di atas dikuatkan Komentar Umum No. 18 tentang pasal 17 tentang Hak untuk Dilindungi Masalah Pribadi, Keluarga, Rumah atau Korespondensiyang Diadopsi oleh Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia (U.N. Doc. HRIGEN1Rev.1 at 21 (1994), dalam paragraph 8 menyatakan “bahkan dalam hal campur tangan yang sesuai dengan Kovenan, peraturan yang relevan harus memuat secara detil dan tepat kondisi-kondisi di mana campur tangan tersebut dapat diijinkan. Suatu keputusan untuk melaksanakan kewenangan campur tangan semacam itu hanya dapat dibuat oleh pihak berwenang yang ditugaskan oleh hukum, dan berdasarkan kasus-per-kasus. Kesesuaian dengan pasal 17 menetapkan bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang.…”
Bahwa dalam paragraph 10 Komentar Umum No. 18 menyatakan : “Pengumpulan dan penyimpanan informasi pribadi di komputer, bank data, dan alat mekanik lainnya, baik oleh pihak berwenang publik atau individu-individu atau badan-badan, harus diatur oleh hukum. Langkah-langkah yang efektif harus diambil oleh Negara-negara guna menjamin bahwa informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak memiliki kewenangan secara hukum untuk menerima, memroses, dan menggunakannya, dan tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak sesuai dengan Kovenan. Guna mendapatkan yang perlindungan yang efektif bagi kehidupan pribadinya, setiap individual harus memiliki hak untuk menentukan data-data pribadi apa yang akan disimpan dalam rekaman-data otomatis, dan untuk tujuan apa. Jika rekaman-data tersebut memuat data pribadi yang tidak benar atau dikumpulkan atau diproses dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, maka setiap individu harus memiliki hak untuk meminta perbaikan atau pemusnahan data tersebut.”
Berdasarkan instrumen hak asasi manusia tersebut, berkaitan dengan urusan pribadi pada prinsipnya penyadapan/intersepsi dilarang. Restriksi atau pengurangan hak ini dibolehkan sepanjang, 1) diatur oleh hukum, 2) dilakukan demi kepentingan dan tujuan-tujuan obyektif yang sah, dan 3) dilakukan dengan prosedur yang sah dan bukan dengan cara yang sewenang-wenang.
Bahwa dalam konteks ini, terjadi konflik antar hak (conflict between rights) yang pada satu sisi harus melindungi dan menjamin hak atas urusan pribadi individu, dan disisi lain adanya kepentingan untuk melindungi jaminan hak asasi orang lain dalam penegakan hukum. Karenanya, pencabutan hak atau pembatasan yang dilakukan untuk melanggar atau menyimpangi hak untuk dicampuri urusan pribadi seseorang haruslah diatur dalam suatu aturan yang sederajat dengan jaminan hak tersebut. Pembatasan, restriksi atau pengurangan tersebut, dalam hal ini penyadapan atas komunikasi individu untuk penegakan hukum pidana, harus diatur dengan suatu hukum acara dengan UU.
Bahwa dalam konteks permintaan penyadapan/intersepsi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE, adalah demi untuk penegakan hukum, yang juga mengatur tentang penyadapan dalam kasus-kasus pidana. Permintan penyadapan akan sangat terkait dengan perkara pidana maka semua tata cara dan mekanisme atau prosedurnya haruslah mengacu pada ketentuan hukum acara pidana. Oleh karenanya, semua tata cara dan prosedur atau mekanisme penyadapan dalam kontek ini haruslah diatur dalam suatu UU Hukum Acara Pidana.
Penyadapan pada prinsipnya haruslah dilarang, karena telah melanggar hak privasi dari individu yang harus secara ketat dilindungi, oleh karena itu segala ketentuan yang membolehkan diadakannya penyadapan harus diatur dalam ketentuan yang setingkat dengan UU atau kami mengusulkan agar dilakukan perubahan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang adanya suatu prosedur upaya paksa, dalam hal ini penangkapan, penahanan, penyitaan, dan juga penyadapan, tidak bisa jika hanya diatur dalam peraturan setingkat Peraturan Pemerintah atau dalam Peraturan yang lebih rendah dari UU.
Untuk itu kami, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) menyatakan sikap sebagai berikut
- Menolak pengaturan ketentuan penyadapan hanya diatur dalam peraturan setingkat Peraturan Pemerintah;
- Mendesak pemerintah dan DPR untuk adanya pembaharuan hukum acara pidana terutama terkait dengan ketentuan yang mengatur Penyadapan atau jika tidak memungkinkan maka ketentuan tentang Penyadapan harus diatur dalam UU Penyadapan;
- Mendesak agar Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan HAM untuk menarik kembali RPP tentang Tata Cara Penyadapan dan menyusun rencana pembaharuan hukum acara pidana terkait dengan ketentuan Penyadapan dengan membuka partisipasi masyarakat luas.
Jakarta, 20 November 2009
Hormat Kami
Institute for Criminal Justice Reform
Anggara, Direktur Program, anggara@icjr.or.id
Yayasan LBH Indonesia
Zainal Abidin, Direktur Riset, zainal.abidin@ylbhi.or.id
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Wahyu Wagiman, Koordinator Pengembangan Sumber Daya HAM, wahyu@elsam.or.id
Indonesia Media Defense Litigation Network
Supriyadi W. Eddyono, Koordinator, supi_aja@yahoo.com